15 Mei 2008

Sumpit, senjata tradisional Dayak


Sumpit yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut 'sipet' merupakan senjata tradisional yang sudah dikenal sejak jaman dahoeloe kala. Sipet terbuat dari kayu ulin yang dibentuk dan dilobangi bagian dalamnya sehingga menyerupai pipa lurus, dengan ukuran diameter bagian luar sekitar 3 cm, diameter rongga dalam sekitar 0,75 cm dan panjang sekitar 200 cm. Setelah diraut dan digosok sampai rapi, biasanya kayu ulin tersebut menjadi berwarna hitam mengkilat sehingga permukaannya mirip seperti logam. Pada bagian ujung depan pipa tadi dipasang dua macam aksesori yang terbuat dari besi, yaitu di sisi sebelah bawah dipasang mata tombak yang tajam, dan pada sisi sebelah atas dipasang besi kecil menyerupai pisir pada ujung laras senjata api, yang berguna sebagai alat bantu untuk membidik sasaran. Kedua aksesori tersebut dilekatkan pada batang sipet menggunakan rotan yang dianyam sedemikian rupa sehingga terlihat rapi, kuat dan artistik. Bagian permukaan batang sipet terkadang dihiasi dengan ukiran relief atau ornamen dengan motif khas Dayak.
Kegunaan utama sipet adalah sebagai senjata atau alat berburu, walaupun bisa juga digunakan sebagai senjata pada saat berperang. Sebagai senjata, ia dilengkapi dengan peluru yang dimasukkan ke dalam lobang laras dan dilontarkan ke arah sasaran dengan cara ditiup menggunakan mulut. Jenis pelurunya ada 2 macam. Jenis pertama terbuat dari tanah liat dalam keadaan setengah basah dibentuk berupa bola-bola kecil sebesar ukuran lubang laras, biasanya digunakan untuk jarak dekat (sekitar 5 meter) untuk berburu binatang kecil misalnya tupai dan burung-burung yang terbang rendah. Jenis peluru yang kedua disebut damek atau lahes, terbuat dari bilah bambu yang diruncingkan seperti anak panah dan di bagian belakangnya dipasang potongan kayu gabus untuk mengatur arah, kurang lebih berfungsi sama dengan bulu angsa yang dipasang pada shuttlecock (bola badminton). Lahes tersebut dibuat dalam jumlah banyak, disimpan di dalam tabung bambu yang sudah diisi dengan cairan 'bisa atau racun' dari binatang liar, sehingga apabila melukai sedikit saja tubuh hewan sasaran akan langsung mematikan. Biasanya lahes digunakan untuk berburu hewan yang lebih besar, misalnya kancil, kijang atau hewan primata (misalnya monyet dll) yang tinggal di atas pohon-pohon tinggi.
Suatu hal yang unik pada sumpit ialah ketika pelurunya dilontarkan menuju sasaran, tidak akan terdengar bunyi apapun yang membuat sasarannya mengetahui dari mana sumber asal serangan. Hal ini berbeda dengan senapan atau senjata api. Konon hal ini jugalah yang membuat Belanda kewalahan dalam perang gerilya melawan suku Dayak di Kalimantan. Kita tahu bahwa sebagai bangsa Eropah, orang Belanda itu mempunyai rasa ingin tahu yang sangat tinggi terhadap setiap hal yang belum dimengerti olehnya. Suatu ketika pasukan serdadu Belanda melintasi hutan. Kebetulan tidak jauh dari situ ada beberapa orang suku Dayak sedang mengintai. Merekapun melontarkan peluru sumpit dari tanah liat yang sengaja diarahkan pada sebatang pohon di depan salah seorang serdadu Belanda. Para serdadu tadi langsung berkerumun meneliti benda apakah gerangan yang tiba-tiba melesat di depan hidungnya. Ketika mereka asyik berkerumun itulah mereka diserang dengan peluru beneran, yaitu lahes yang mengandung racun.
Pada masa kini, anak-anak Dayak di daerah pedalaman Kalimantan masing sering bermain perang-perangan menggunakan 'sumpit-sumpitan' yang terbuat dari ruas bambu kecil dengan peluru tanah liat. Meskipun maksudnya cuma sekedar main-main tapi sesekali peluru tanah tersebut sering juga tanpa disengaja mengenai tubuh lawan. Sakiiit, tapi asyik.

13 Mei 2008

Patung Suku Dayak


Di depan rumah tinggal suku Dayak di Kalimantan Tengah atau Kalimantan Timur sering dijumpai beberapa patung menyerupai manusia laki-laki atau perempuan yang terbuat dari kayu ulin. Fungsi atau kegunaan dari patung tersebut bisa bermacam-macam. Patung kayu yang berukuran hampir sama dengan manusia di kalangan suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah biasanya merupakan sisa pelaksanaan upacara tiwah, yaitu upacara ritual mengantar arwah leluhur ke alam surga loka. Patung dalam ukuran yang lebih kecil biasanya merupakan sisa upacara ritual selain Tiwah dan sengaja dipasang di depan halaman rumah karena diyakini bahwa patung-patung tersebut mempunyai kekuatan magis untuk mengusir roh-roh jahat yang ingin mengganggu sang empunya rumah.

06 Mei 2008

Cara baru menanam pisang

Setelah merasa cukup puas bermain air, Bahuang mengangkat potongan pohon pisang bagiannya dari sungai, langsung dibawa masuk ke dalam rumahnya.
- Lho, mengapa dibawa ke dalam rumah? Orang menanam pisang itu di kebun Uang, bukan di dalam rumah. – tegur Kelep.
- Ah, kamu saja yang belum tahu. – kata Bahuang.
Sekarang ada cara baru menanam pisang supaya cepat berbuah. –
- Cara baru bagaimana? – Kelep jadi penasaran.
- Ditanam diatas dapuhan. -
Kalau masyarakat di perkotaan akhir-akhir ini sedang ribut membicarakan program konversi energi dari kompor minyak tanah menjadi kompor gas, masyarakat di negeri Kelep dan Bahuang masih ketinggalan satu langkah di belakang. Mereka masih menggunakan ’dapuhan’, yaitu tungku tempat memasak berupa timbunan tanah yang dibuat di dalam rumah, berukuran lebih kurang 2 meter kali 4 meter dan menggunakan sumber energi dari kayu bakar.
- Dasar otakmu layau , - kata Kelep kelepasan omong. – Aturan dari mana lagi itu? -
- Astaga, rupanya kamu benar-benar belum tahu bahwa bercocok tanam di kebun itu sudah ketinggalan jaman. Itu pertanian gaya jadul. –
- Jadul itu apa sih? – Kelep bertanya dengan lugu.
- Jadul itu artinya jaman dulu, bego. –
- Terus, bego itu apaan? –
- Bego itu ya uong alias blo’on. -
- Ooooo … begitu. -
- Sejalan dengan himbauan pemerintah melarang penduduk pedalaman melakukan ladang berpindah dan merambah hutan, ada paradigma baru yang lebih murah dan praktis dalam seni bercocok tanam, yaitu diatas media dapuhan. –
- Apa keistimewaan tanah dapuhan? –
- Sejak dahulu orang tahu bahwa tanah bekas bakaran itu lebih subur dari pupuk manapun. –
- Mengenai hal itu aku sudah paham Uang. Dari jaman dahulu nenek moyang kita selalu membakar ladangnya sebelum menanam, sampai-sampai pemerintah menuduh mereka sebagai biang kerok penyebab kebakaran hutan. Padahal yang membakar hutan itu kan para petani berdasi dari ibukota. -
- Keunggulan kedua karena kucing suka membuang hajat diatas dapuhan sehingga lebih memperkaya zat-zat yang diperlukan oleh tanaman. Keunggulan yang lain bahwa tanaman diatas dapuhan mudah dirawat karena lokasinya lebih dekat dan setiap saat bisa diawasi sehingga tidak sempat diganggu oleh hama. –
- Oooo ... – kata Kelep, walau sebenarnya ia tetap belum mengerti dengan jalan pikiran Bahuang. Bagaimana mungkin orang dapat bercocok-tanam diatas dapuhan, di dekat tungku perapian tempat memasak yang panasnya bisa lebih dari 300 derajat celsius? Mustahil, kata Kelep dalam hati. Benar-benar tidak masuk akal. Tapi biarlah, Bahuang mau menanam pisang dimana saja, mau di atas dapuhan atau diatas dahinya, masa-bodoh. Itu urusan dia sendiri. Kelep akan tetap menanam pisangnya di kebun di samping rumah.

Setiap pagi, hal pertama yang dilakukan Bahuang begitu ia bangun dari tidur ialah memeriksa tanaman pisangnya di pojok dapuhan. Pada pagi hari pertama dan hari kedua belum tampak adanya perubahan yang signifikan. Pada hari ketiga, daun pisang tampak mulai menguning. Wah, kalau sudah kuning artinya sudah mulai masak, kata Bahuang dalam hati. Dia mengambil daun kuning tersebut dan mencicipinya, tapi koq tidak enak? Phei, ia mengeluarkan lagi dari dalam mulutnya. Mungkin belum masak sempurna, pikirnya. Keesokan harinya daun pisang yang berwarna kuning semakin banyak. Ia mencoba lagi mencicipi seperti kemarin, tapi rasanya belum ada perubahan. Tetap tidak enak. Begitu pula yang terjadi pada hari-hari berikutnya. Setiap hari Bahuang mencicipi daun pisang yang ditanamnya. Setelah daun pisang habis, ia mencoba mencicipi pelepahnya. Setelah pelepah habis, iapun mencoba mencicipi batangnya. Namun rasanya tetap tidak sesuai dengan harapan, yaitu seperti rasa buah pisang. Akhirnya pohon pisang itu habis.

(Kutipan dari Buku Suling Tulang Bahuang - dituturkan kembali oleh Wishnu Singapari)