30 November 2011

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU? (Bagian 2)


Sejak lama aku dan isteriku sepakat bahwa jika sudah pensiun kami akan kembali ke alam  desa. Kami sudah lelah menjalani kehidupan di kota besar, berdesak-desakan dengan para tetangga yang serakah. Bahkan membuka jendela saja sudah tidak bisa - karena setiap orang membangun rumahnya secara berhimpitan.

Di desa, kami akan membangun rumah mungil dari kayu, dengan jendela besar tanpa teralis yang terbuka lebar, dikelilingi taman bunga yang luas sehingga kami dapat menghirup udara segar seberapa banyak yang kami inginkan. Di depan dan samping kiri rumah akan kami buat kolam ikan yang luas. Bagian sebelah kanan digunakan untuk menanam sayuran, sedang di bagian belakang akan ditanami pohon buah-buahan rambutan, langsat, durian, cempedak, mangga, jeruk dan salak. Di sela-sela pepohonan itu akan digunakan sebagai area peternakan unggas.

Demikianlah, sejak awal tahun lalu aku bersama Mala mulai mencurahkan pikiran, tenaga dan juga uang untuk mengubah tempat ini menjadi tempat yang sesuai dengan impian kami. Memang tidak semudah yang kami  bayangkan. Kendala utama ialah karena tingkat kesuburan tanah di sini sangat rendah sehingga kurang memadai untuk digunakan sebagai lahan bercocok-tanam.

Dahulunya lahan ini merupakan bekas kebun karet milik penduduk, kemudian dijadikan ladang tempat menanam padi, sehingga zat hara pada tanah sudah hampir habis. Sebagian besar permukaan tanah mengandung gambut dengan tingkat keasaman yang tinggi, juga terlalu mudah longsor untuk digunakan sebagai lokasi kolam ikan. Meskipun demikian kami tetap memilih tempat ini karena ternyata juga punya kelebihan, yaitu terletak di daerah lintasan mata air, menurut keterangan penduduk setempat tidak pernah kekeringan kecuali pada musim kemarau panjang, namun juga tidak pernah dilanda banjir meski pada musim penghujan. Posisinya yang terletak di kaki lembah yang diapit oleh dua bukit di sebelah kiri dan kanan membuat air mudah dikelola supaya mengalir dengan deras. Hal itu sangat baik untuk mempercepat pertumbuhan ikan, sekaligus merupakan nilai tambah dari segi estetika.

Alasan lain bagi kami memilih tempat ini adalah karena suasananya yang sunyi dan tenang, terletak sekitar 6 kilometer dari pusat kota. Hanya sesekali ada mobil atau sepeda motor melintas lewat. Sebagian banyak dari mereka yang lewat adalah para petani penyadap karet atau anak sekolah yang sengaja memilih jalan ini supaya tidak terjaring razia, karena tidak punya surat ijin mengemudi atau tidak pernah membayar pajak tahunan kendaraan bermotor. Ada juga beberapa mobil bak terbuka milik para pengusaha spanyol (separo nyolong), yaitu pengusaha yang menjadi cukong penebangan kayu secara liar. Meski pemerintah sudah melarang, mereka terus saja merambah hutan, menebang pohon sesuka hatinya, dibelah di tempat dengan chainsaw untuk dijadikan bahan bangunan, kemudian diangkut ke kota dengan cara terang-terangan. Para aparat yang berwenang mengawasi hal itu seolah menutup mata, berlagak seolah-olah tidak tahu, bahkan sangat mungkin ada permainan pat-gulipat di antara sang cukong dan aparat.

Sekitar tiga ratus meter dari tempat ini ke arah Timur ada perkampungan penduduk dengan jumlah rumah  lebih kurang tigapuluh buah. Sedangkan ke arah Barat ada sekitar tujuh atau delapan buah rumah dengan jarak antara rumah satu ke rumah yang lain sekitar lima puluh sampai seratus meter. Secara administratif daerah ini tercakup dalam kawasan rencana perluasan kota Tamiang Layang dan disebut jalan lingkar luar, sengaja dibangun sebagai jalan alternatif untuk menghindar dari kemacetan lalu lintas di pasar Temanggung Djayakarti Tamiang Layang. 

 
Masalah paling berat bagi aku dan Mala ketika baru pindah ke sini adalah faktor usia dan human behavior. Sebesar apapun semangat kami, tetap harus diakui bahwa aku dan Mala sudah berusia lanjut, sehingga kami bukanlah merupakan pekerja yang handal untuk menaklukkan alam. Aku memang  merupakan putra asli suku Dayak Ngaju yang lahir di pedalaman Katingan, namun sejak usia sekolah menengah aku pergi meninggalkan kampung halaman dan merantau ke kota besar. Aku tidak punya pengalaman yang memadai untuk beralih profesi menjadi petani. Setelah menyelesaikan ’sebagian’ pendidikan program S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, aku diterima bekerja pada sebuah bank umum milik negara dan ditempatkan pada salah satu cabangnya di kota Tanjungredeb, Kalimantan Timur. Selama lebih dari 31 tahun aku menjalani rutinitas kehidupan yang itu-itu saja. Setiap hari bekerja dari jam 07.00 pagi sampai jam 20.00 malam, menempati ruangan kantor yang bersih dan sangat nyaman dengan udara sejuk yang diatur oleh mesin pada suhu 23 derajat Celcius. Kulitku hampir tidak pernah disengat oleh terik matahari.

Adapun Mala, meski orang tuanya berasal dari suku Dayak Maanyan[i], namun ia lahir dan dibesarkan di Balikpapan, satu-satunya kota paling besar dan bertaraf internasional di pulau Kalimantan. Bagi kami, hidup di tengah alam pedesaan merupakan sebuah pengalaman baru. Meskipun demikian, semua kendala dan hambatan tidaklah membuat kami tawar hati. Malah kami anggap sebagai tantangan. Kami harus mampu memanfaatkan kondisi dan kemampuan yang ada sehingga dapat memberikan hasil sesuai dengan harapan.


[i]      Penduduk asli propinsi Kalteng terdiri dari 2 kelompok besar, yaitu
1.  suku Dayak Ngaju, tinggal di daerah aliran sungai Seruyan, Mentaya, Katingan, Kahayan dan Kapuas;
2.  suku Dayak Maanyan,  tinggal di daerah aliran sungai Barito.

16 November 2011

Sekali lagi: DAYAK DAN CINA


Dalam perjalanan hidup, saya tidak banyak bepergian. Tapi dari sedikit pengalaman melakukan perjalanan saya sering menemukan kejadian yang bersifat sama atau berulang. Di bandar udara, di terminal bus, di pelabuhan kapal laut, di stasiun kereta dan ketika jalan-jalan di mall orang sering keliru karena mengira saya orang cina.
Dulunya saya memang bangga sering dikira cina, karena semua orang sudah tahu bahwa sebagian besar saudara kita warga keturunan cina di negeri ini menikmati taraf kehidupan ekonomi yang lebih baik atau paling tidak diatas garis rata-rata. Tapi setelah terjadi kerusuhan besar di Jakarta penghujung masa kekuasaan Orde Baru antara tahun 1997-1998, ketika orang cina dikejar-kejar, dirampok, disiksa dan dibunuh, saya merasa jadi ngeri juga menyandang predikat sebagai cina gadungan. Kalau jadi cina beneran apa boleh buat, namanya sudah memang risiko.
Lalu saya bertanya pada diri sendiri, mengapa orang sering mengira saya orang cina, padahal raut wajah saya dayak tulen. Sure. Tiba-tiba saya teringat sepotong cerita lama yang pernah saya dengar sekitar tigapuluh tahun yang lalu. Saking lamanya, sebagian besar dari ceritera tersebut tidak mampu saya ingat lagi. Konon katanya orang dayak dan orang cina itu adalah dua orang saudara kandung. Suatu hari mereka menemukan sebongkah emas kurang lebih sebesar buah kelapa (berapa kilo ya?) di puncak gunung Kinabalu. Ketika akan dijual, tidak ada yang sanggup membeli emas dengan jumlah dan ukuran sebesar itu, padahal mereka ingin menjualnya sekaligus, tidak mau dijual sedikit-sedikit. Pikir punya pikir, akhirnya mereka terpaksa pergi ke negeri Tiongkok untuk menjual hasil temuan mereka tadi.
Ketika itu belum ada kapal laut, apalagi pesawat udara. Mereka naik rakit bambu yang diberi layar. Di tengah lautan tiba-tiba muncul seekor naga ingin merebut bola emas dari mereka. Enak aja tuh si naga, emang lu kira gratis? Kedua saudara tadi bertempur mati-matian melawan naga, tapi lama-kelamaan mereka kewalahan juga. Sambil bertempur mereka mengubah strategi. Si abang berusaha mengalihkan perhatian sang naga, sedang adiknya mengumpulkan kuali, piring, sendok dan gelas yang ada di atas rakit dan terbuat dari kuningan, untuk ditanak menjadi bola emas palsu. Setelah bola emas palsu selesai dibuat lalu mereka lembarkan ke mulut si naga. Setelah merasa berhasil merebut bola emas (palsu) tadi sang naga langsung pergi. Kutipu kau, kata kedua saudara tadi sambil tersenyum lega dan meneruskan perjalanan ke negeri Tiongkok.
Setiba di sana, mereka berhasil menjual bola emas dengan harga yang pantas, tapi kemudian timbul masalah dalam pembagian hasil penjualan. Masing-masing pihak merasa lebih berjasa ketika mempertahankan emas dari serangan naga, sehingga saling menuntut bagian lebih besar dari yang lain.
Sampai disini saya lupa kelanjutan ceriteranya. Karena itu jika ada diantara pembaca yang kebetulan mengetahui ceritera ini secara lengkap, sudilah kiranya memberikan koreksi, tanggapan atau tambahan kelanjutan kisah tersebut. Paling tidak dari ceritera tersebut saya ingin memastikan bahwa sebenarnya orang dayak itu tidak mirip dengan orang cina, tapi orang cina-lah yang (sebagian) mirip dengan orang dayak.

15 November 2011

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU?


Senin, 12 Juli tahun duaribu sekian.
Beberapa hari terakhir ini kesehatanku kurang baik. Sejak kepergian isteriku ke Banjarmasin pekan lalu aku merasa nyeri pada otot punggung sebelah kiri. Semula aku tidak peduli dengan rasa sakit itu dan mencoba untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Begitu bangun pagi aku langsung menyiapkan sarapan. Semuanya harus dikerjakan sendiri karena memang tidak ada orang lain di rumah ini. Ada untungnya juga bahwa aku sudah terbiasa tidak sarapan makan nasi. Cukup secangkir kopi dengan sepotong kue, dan pagi ini lebih istimewa karena ada roti sumbu, ubi rebus dioles margarine. Aku membawa sarapan ke teras depan dan menikmatinya sambil duduk menghadap ke kolam taman. Pagi ini air kolam tampak lebih bening dari biasanya. Di pojok kolam sebelah utara terdapat air terjun mini yang aku buat sendiri dari tumpukan batu kali. Dari situ terdengar gemercik suara air seolah menggelitik telinga. Tepat di bawah air terjun itu beberapa ekor ikan mas berenang meliuk-liuk dengan gerakan perlahan. Ada yang berwarna hitam, abu-abu, dan ada juga yang berwarna kuning cerah. Dahulu ikan mas itu dibeli oleh Mala – isteriku – di pasar ikan Tamiang Layang. Ketika dibeli ikannya masih kecil-kecil, satu ekor beratnya rata-rata sekitar 200 gram. Tanpa terasa setelah kami pelihara lebih kurang 6 bulan sekarang ikan mas itu tumbuh menjadi bongsor. Kini setiap satu ekor beratnya mungkin sudah mencapai berat dua kilogram atau lebih. Mengetahui keberdaanku di teras depan, beberapa ekor ikan mas itu berlomba mendekat, seolah mengerti bahwa sekarang adalah waktu untuk bersama menikmati sarapan pagi. Akupun menebar beberapa genggam pelet ke dalam kolam. Puluhan ekor ikan mas itu menggelepar saling mandahului menyambar makanan dengan penuh semangat.
Sepasang burung kecil terbang rendah melintasi taman, lalu hinggap di ranting pohon akasia di depan rumah. Entah burung apa namanya. Paruhnya hitam, bulunya warna hijau tapi di dadanya ada warna merah. Mereka melompat dari satu ranting ke ranting yang lain sambil terus-menerus mengeluarkan bunyi mirip sempritan anak sekolah sedang latihan lomba gerak jalan menjelang peringatan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa. ”Prit ... prit ... prit ... prit.” Sementara itu dari pepohonan hutan yang lebih tinggi terdengar suara kicau berbagai jenis burung lain yang saling bersahutsahutan. Mereka seolah sedang memainkan orkes simphony. Aku duduk di kursi sambil memejamkan mata dengan perlahan. Serasa ada sesuatu yang mengalir dari ubun-ubun, turun melalui leher, bahu, punggung, lalu memenuhi rongga dada. Sesuatu yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ya Gusti Allah, kicau burung, gemercik suara air terjun, semerbak bau bunga dan aroma wangi rerumputan basah yang diterpa sinar hangat matahari pagi, semuanya merupakan berkat dari Tuhan semesta alam yang menghadirkan rasa nikmat luar biasa. Aku merasa jarum waktu seolah sedang berhenti. Aku lupa bahwa aku sedang berada jauh di tempat asing seorang diri, duaratus limapuluh kilometer dari Banjarmasin – tempat dimana isteri dan anak-anakku berada.

Bersambung .....