15 November 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bagian 8)


Tiba-tiba aku sadar dan merasa sakit pada luka herpes di kulitku yang belum sembuh. Aku mendorong Mala dari dalam pelukanku secara perlahan.
-    Ada apa Wish? – ia berbalik ke belakang dengan tatapan  penuh rasa heran.
-    Maaf, aku baru sekarang memberitahukanmu. Tidak lama setelah keberangkatanmu ke Banjarmasin aku terserang penyakit herpes, - kataku sambil menyingkap bajuku.
-    Tuh kan, ternyata naluriku tidak salah. Dari suaramu di telepon kemarin aku sudah curiga bahwa kamu sedang tidak sehat. Mengapa kamu tidak memberitahu aku?  Kalau aku tahu kan aku bisa pulang lebih cepat. –
-    Sudahlah, tidak apa-apa. Aku sudah berobat ke dokter, kata dokter sebentar lagi juga pasti sembuh. – kataku berusaha untuk menenangkan hatinya.
-    Kapan kamu pergi ke dokter? Dimana? – tanya Mala.
-    Kemarin pagi, ke dokter di Rumah Sakit Umum Tamiang.
-    Mana obat-obat dari dokter, aku mau lihat... – katanya.
Aku menarik laci dashboard, mengeluarkan setumpuk obat dan meletakkannya di atas dashboard. Ia terperanjat.
-    Yak ampuuun .... mengapa obatnya sebanyak ini??? –
***
            Esok paginya aku terbangun dari tidur ketika semua jendela kamar sudah terbuka. Udara pagi dan bau wangi rerumputan terasa begitu segar, menembus masuk sampai ke seluruh rongga paru-paru. Aku mencari-cari Mala. Ternyata ia sedang duduk di teras belakang, asyik menatap ke puncak pohon chery hutan yang sedang berbuah di samping rumah kami. Di atas pohon itu ada seekor tupai dan beberapa ekor burung kecil melompat-lompat, terbang dan hinggap ke sana kemari sambil berkicau dengan riang. Tampaknya mereka sedang bersama-sama menikmati sarapan pagi dari hasil buah pohon chery hutan itu. Aku menghampiri Mala, menyentuh pundaknya dengan perlahan. Ia meraih tanganku dari bahunya, membawa menuju ke arah wajahnya, lalu ujung jariku ia cium dengan sangat lembut. Inilah suasana yang sangat kami sukai di tempat ini. Begitu damai, begitu mesra. Setiap detik terasa sangat istimewa. Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat atau disentuh, tetapi dapat dirasakan jauh di dalam hati kita. Sesungguhnya hal itu bisa didapat, ketika kita bisa menikmati hari-hari dengan senyuman, tawa dan canda, menghabiskan waktu bersama orang-orang tercinta. Bagi aku dan Mala itulah kebahagiaan yang sebenarnya.

06 Agustus 2012

ANDAI AKU BISA HENTIKAN WAKTU


Andai aku bisa hentikan waktu
akan kuhentikan tigapuluh tahun yang lalu
pada suatu senja di bumi etam
ketika pertamakali melihat langkahmu gemulai
berlari ke bawah atap teras gereja,

disitu kita berteduh menanti gerimis reda
tapi senja tak bisa ku bendung
hingga tak dapat lagi kutatap indah parasmu

Andai aku bisa hentikan waktu
aku akan hentikan di kuta,
ketika matahari menebar hangat
dan kita membuat istana pasir
di sana kutulis namamu dan juga namaku

andai aku bisa menghentikan waktu
akan kuhentikan di pondok nila
ketika malam turun
di bawah lampu temaram
dan kita arungi sungai mimpi yang tak berujung

tapi
fajar tak mau sembunyi
saat kudengar bisik lirih,
maafkanlah ...
kini malam harus berganti pagi

16 Juli 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bag. 7)


Aku meraih ponsel di atas meja lalu mencoba mengubungi Mala.
-    Selamat pagi Wish. – ia tidak pernah mengucapkan kata ’halo’ setiap menerima telpon dari siapa saja.
-    Selamat pagi juga La. Kamu jadi berangkat ke Tamiang Layang hari ini? – tanyaku.
-    Jadi say. Ini sedang siap-siap mau pergi ke terminal. Bus-nya berangkat  jam delapan pagi.  
-    Berarti tiba di Tamiang sekitar jam dua siang.  – kataku.
-    Ya, sekitar jam dua siang. Kamu jemput aku di depan pasar Tamiang Layang ya? –
-    Ya La. Hati-hati di jalan. –
-    Terima kasih Wish, kamu mau aku belikan apa? –
-    Tidak La, terima kasih. Aku hanya mau kamu cepat datang saja. – kataku bergurau, ia tertawa geli.
-    OK Wish, sampai jumpa nanti siang. –
-    Ya, sampai nanti. –
            Bus yang membawa Mala tiba di Pasar Tamiang jam 13.45 WIB, lebih cepat limabelas menit dari yang kami perkirakan sebelumnya. Aku menaikkan barang-barang bawaannya ke mobil, lalu kami meneruskan perjalanan menuju Pondok Nila. Meski aku sudah membuat papan nama dan memasangnya di depan rumah, sebagian penduduk desa lebih suka menyebut tempat kami dengan nama Pondok Mala. Aku pikir, nothing to loose. Biarkan saja. Disini orang-orang memang lebih mengenal Mala ketimbang mengenal aku. Mungkin karena ia orang Ma’anyan, sedang aku adalah mahluk asing entah dari planet mana.
            Sepanjang perjalanan aku menggenggam tangannya sambil menyetir, hal yang sudah biasa aku lakukan apabila kami naik mobil berduaan.
-    Bagaimana kabar Keysha. – tanyaku tak sabar ingin segera mendengar cerita tentang cucu kami. Sejak ia lahir sampai sekarang aku belum sempat pergi ke Banjarmasin, jadi Keysha belum kenal dengan Opa-nya.
-    Wahhh, Keysha lucu sekali Wish. Ibu-ibu tetangga kita semua mengatakan mukanya bulat seperti aku, tapi bibirnya mirip bibir kamu –
-    Ya iyalah, - jawabku. – Namanya juga Keisya itu cucu kita, mana mungkin mukanya mirip tetangga. – Kami berdua tertawa ngakak.
            Setiba di depan Pondok, Mala keluar dari mobil lalu berdiri menengadah ke langit sambil membentangkan kedua belah tangannya lebar-lebar. Rambutnya tergerai ditiup angin. Ia menarik napas panjang, menghirup udara segar dengan sepuas-puasnya.
-    Wahhh... rasanya lega sekali. – katanya. – Hanya beberapa hari tinggal di Banjarmasin dadaku terasa sesak, beda sekali dengan udara di tempat ini. -
Aku sangat terharu dan langsung berdiri keluar dari dalam mobil lalu memeluknya dari belakang. Dalam hati aku berdoa: ”Ya Tuhan, aku mohon dengan segala kerendahan hati berikanlah aku dan isteriku kesehatan dan umur panjang, limabelas atau duapuluh tahun lagi dari sekarang. Berilah aku kesempatan dan kemampuan untuk menunjukkan cinta kasih yang tulus kepada Mala sampai kami memasuki usia senja, sampai engkau memanggil kami kembali ke hadapan hadiratmu. ”
            Apa yang aku ucapkan dalam doaku seolah bergema sampai ke dalam ruang batin Mala. Ia seperti mampu membaca isi pikiranku, lalu ia menarik lenganku dan melingkarkannya lebih erat pada tubuhnya. Sound system dari dalam mobil terdengar sampai keluar karena kedua  pintunya terbuka.  Salah satu lagu lama kesukaan kami  mengalun dari sana. Begitu manis, begitu lembut. Itulah suara penyanyi Dan Hill dalam singlenya Sometimes when we touch
          You ask me if I love you
          And I choke on my reply
          I'd rather hurt you honestly
          Than mislead you with a lie
                        And who am I to judge you
                        On what you say or do?
                        I'm only just beginning to see the real you
          And sometimes when we touch
          The honesty's too much
          And I have to close my eyes and hide
          I wanna hold you til I die
          Til we both break down and cry
          I wanna hold you till the fear in me subsides.

04 Juli 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bag. 6)




Pagi ini matahari bersinar cerah. Tampaknya musim kemarau sudah hampir tiba, tapi semoga saja bukan kemarau panjang seperti tahun lalu, semua kolam kering kerontang. Kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa ikan di kolamku duluan mati sebelum terjual.

Begitu bangun aku langsung sibuk membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan pagi. Kepergian Mala selama beberapa hari ke Banjarmasin bagiku merupakan pengalaman rohani sekaligus pelajaran hidup yang luar biasa. Pelajaran hidup yang pertama, ternyata aku bisa memasak dan mencuci pakaian sendiri. Sejak aku berhenti kuliah dan mulai bekerja sebagai karyawan bank, aku tidak pernah lagi mengerjakan dua macam tugas suci tersebut.

Aku menyebut memasak dan mencuci pakaian sebagai tugas suci bukan karena sekedar ingin bercanda. Memasak itu punya makna spiritual yang sangat tinggi. Coba saja tanyakan, apa yang paling menyenangkan bagi seorang wanita yang sudah bersuami? Kamu pasti mengira jawabannya adalah sex. Bukan, jawaban yang benar adalah memasak, membuat makanan. Menyaksikan suaminya makan adalah puncak kesenangan seorang wanita. Mengapa? Penjelasan mengenai akar penyebabnya bisa sangat panjang, tetapi esensinya bahwa hal itu sangat berhubungan erat dengan naluri manusia untuk tetap survive, untuk menjaga eksistensi mereka di muka bumi supaya terhindar dari kepunahan. Beribu-ribu tahun yang lalu manusia hidup berkelompok dalam suku-suku. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain demi untuk mendapatkan makanan. Kaum lelaki boleh kawin dan menggauli wanita sebanyak berapa yang mereka inginkan, dan menghasilkan banyak keturunan. Lalu timbullah teori Malthus: jumlah bahan makanan yang tersedia di dunia dari waktu ke waktu bertambah menurut deret hitung, tetapi jumlah manusia bertambah menurut deret ukur. Angka pertumbuhan yang tidak seimbang itu mengakibatkan krisis pangan. Terjadilah saling bunuh karena berebut makanan, mula-mula perang antar suku tetapi lama-lama antar sesama anggota suku itu sendiri. Yang paling duluan terbunuh adalah anak-anak dan orang lanjut usia, setelah itu para wanita karena mereka lebih lemah. Yang tersisa hanyalah kaum laki-laki, atau sejumlah kecil wanita yang berotot baja. Tapi laki-laki tanpa wanita tidak bisa punya keturunan. Mereka terancam punah. Maka dibuatlah aturan-aturan untuk menjaga keseimbangan alam semesta, satu lelaki hanya boleh menikah dengan satu wanita. Itulah pula sebabnya pada masa pemerintahan orde baru dibuat peraturan keluarga berencana: dua orang anak sudah cukup, lelaki atau perempuan sama saja. Jika aturan ini berhasil diterapkan secara nyata berarti pertumbuhan jumlah penduduk di negara kita adalah zero growth, tidak bertambah dan tidak berkurang. 
 
Adapun halnya mengenai kegiatan mencuci pakaian tidak bisa kita anggap sepele, karena dibalik kegiatan tersebut terkandung nilai filosofi kehidupan yang sangat mendasar.  Ada sebuah kalimat bijak dalam bahasa Jawa: Ajining diri soko lati, ajining rogo soko busono. Harga diri seseorang itu adalah dari apa yang dia ucapkan, harga badan itu dari pakaian. Dalam pengertian yang lebih luas kalimat itu mengandung makna bahwa setiap orang dalam pergaulan hidup sehari-hari haruslah mampu menjaga kehormatan dirinya, baik secara badaniah dalam wujud cara berpakaian yang pantas, bersih dan rapi, maupun juga penampilan secara batiniah dalam bentuk pengendalian diri, sehingga mulut kita hanya mengeluarkan kata-kata yang baik. Mencuci pakaian adalah pekerjaan yang memerlukan disiplin tinggi. Semakin lama kita tunda, semakin berat pekerjaan yang harus kita selesaikan pada keesokan harinya, karena jumlah cucian besok pasti akan menjadi lebih banyak daripada jika kita mencuci pada hari ini. Semakin berat pekerjaan yang kita hadapi, semakin malas pula kita memulai mengerjakannya. 

Pelajaran hidup yang kedua sehubungan dengan kepergian Mala adalah bahwa aku jadi lebih mengerti betapa berharganya ia bagi hidupku, bahkan juga bagi kedua orang anakku Riko dan Aline. Bagaimana tidak? Selama puluhan tahun sebelum ini aku tidak pernah menyadari betapa berat tugas isteriku mengurus rumah tangga kami. Setiap hari ia bangun lebih duluan dan tidur paling belakangan, karena harus menyiapkan sarapan pagi, menyiapkan anak-anakku pergi ke sekolah dan menyiapkan keperluan suaminya pergi ke tempat kerja. Setelah aku dan anak-anak pergi, ia harus membersihkan rumah, mencuci pakaian, pergi ke pasar, memasak dan menyiapkan makan siang, menyeterika, melipat pakaian dan setumpuk pekerjaan tetek-bengek lainnya yang tak ada habis-habisnya.  Menjelang petang ia sibuk lagi menyiapkan makan malam, membersihkan peralatan dapur bekas masak, menidurkan anak-anak ... dan bahkan juga menidurkan suaminya, setelah itu barulah ia sendiri bisa istirahat. Memang betul selama ini aku juga sangat sibuk dengan pekerjaan di Kantor, tetapi aku masih punya kesempatan untuk istirahat pada hari Sabtu, Minggu dan hari-hari libur lainnya. Sedangkan isteriku tidak, hari Minggu atau hari libur ia tetap sibuk seperti hari-hari biasa. Kami memang pernah mencoba menggaji pembantu rumah tangga. Sewaktu di Tanjungredeb pernah ada seorang pembantu dari Madura. Namanya Widji, umurnya masih belasan tahun. Waktu baru mulai bekerja ia memang rajin, hasil pekerjaannya rapi dan bersih. Tapi baru sekitar 8 bulan sudah mulai tidak karuan karena ia mabok pacaran dengan Syamsu, seorang pemuda penebang kayu dari Sulawesi yang tinggal di rumah sebelah. Ujung-ujungnya ia minta berhenti dengan alasan ingin menikah. Pembantu kami yang kedua orang Manado. Seumur-umur aku baru tahu bahwa ada juga orang Manado yang sudi menjadi pembantu rumah tangga. Namanya keren, Florcee Arietta Massie. Ia seorang janda muda tanpa anak. Dua tahun yang lalu ia datang dari Kawanua bersama suaminya Jimmy Mamahit, buruh perusahaan batu-bara yang beroperasi di Tanjungredeb. Tetapi Jimmy kemudian jatuh cinta pada Sunarti, tukang masak perusahaan di tempatnya bekerja, dan Florcee ditinggalkan begitu saja. Dasar Jimmy tukang ’mamahit’ di sembarang tempat, kataku dalam hati. Mamahit itu dalam bahasa Dayak Ngaju sama artinya dengan (maaf) pipis. Kalau nggak tahu arti pipis, sekali lagi mohon maaf, kencing. Sejak mulai bekerja di rumah kami Florcee memang sudah memberitahu bahwa ia ingin menjadi pembantu hanya selama tiga bulan, sekedar mencari uang secukupnya untuk beli tiket kapal laut dan biaya pulang ke Manado. Kami setuju. Tiga bulan kemudian ia mengundurkan diri secara baik-baik. Setelah Florcee, ada sekitar lima atau enam orang anak suku Dayak Benuaq dari pedalaman yang datang memohon untuk numpang tinggal di rumah kami. Mereka bersedia membantu pekerjaan mengurus rumah tangga dengan imbalan bahwa kami bersedia membayar biaya sekolahnya. Tetapi mereka tidak pernah lama, satu-persatu datang dan pergi. Setelah itu tugas mengurus rumah tangga dikerjakan sendiri seratus persen oleh isteriku. Anehnya, ia tak pernah mengeluh karena bosan atau lelah. Ia tetap melaksanakan pekerjaannya dengan gembira dan penuh semangat.

30 Mei 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bagian V)


Hari masih pagi ketika aku tiba di Rumah Sakit. Inilah pertamakalinya aku berobat di rumah sakit selama beberapa tahun terakhir. Aku memang termasuk orang yang jarang sakit, kecuali ketika masih kecil, sekitar kelas 3 Sekolah Dasar. Kalaupun aku sesekali mengalami sakit ringan seperti batuk dan pilek, biasanya cukup hanya dengan pergi berobat ke dokter praktek. Tetapi kali ini aku diserang penyakit aneh, tidak seperti biasanya.

Setelah melewati proses persyaratan administrasi yang cukup berliku-liku, seorang perawat yang cantik menyuruh aku masuk ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu telah menunggu seorang laki-laki tampan berumur sekitar 40 tahun. Tubuhnya gemuk pendek, kepalanya botak bagian depan. Menurut pendapatku penyebab botak itu hanya dua.  Kalau botak di kepala bagian depan, itu disebabkan karena cintanya sering ditolak, tapi kalau botaknya di bagian belakang berarti orang itu sangat disayang oleh mertuanya. Lelaki botak yang di depanku sekarang memakai jas warna putih, di dada bajunya sebelah kiri tertulis nama : dr. Teddy Taroreh. Pasti orang Manado, kataku dalam hati. Orang Manado itu punya banyak sekali kesamaan dengan orang  Dayak. Sama-sama mayoritas beragama nasrani, sama-sama berkulit putih, sama-sama rupawan dan rada mirip ethnis Cina, sama-sama suka makan B2 dan sama-sama suka minum tuak. Di tanah Dayak tuak disebut baram dan di Manado sangat terkenal dengan sebutan ’minuman cap tikus.’ Baik baram maupun minuman cap Tikus sering  ditenggak ramai-ramai untuk membuat orang asyik dan lupa diri. Membuat orang melanglang buana ke dunia antah berantah. Saking asyiknya nyong Manado menikmati minuman cap Tikus, mereka tak lagi tahu perbedaan antara siang dengan malam. Ada anekdot Kawanua menceriterakan dua orang Menado yang sedang berdiri sempoyongan di pinggir jalan. Mereka sepakat bertanya kepada seorang pejalan kaki yang lewat.
-    Teman, sekarang ini masih siang atau sudah malam? –
Pejalan kaki menjawab: - Eh, maaf teman. Aku orang baru disini. – ternyata yang bertanya dan yang ditanya sama saja, sedang dalam keadaan mabok berat.

-       Selamat pagi dok, - aku sengaja menyapa duluan.
-       Selamat pagi pak, silahkan duduk – kata dokter Teddy sambil menunjuk kursi yang tersedia di hadapannya. Ternyata ia seorang lelaki yang sangat ramah. Setelah aku duduk ia langsung bertanya.
– Apa yang menjadi keluhan Bapak? – sebuah pertanyaan standar yang mengingatkan aku pada masa-masa ketika aku belum pensiun. Dulu, setiap tahun aku wajib menjalani Medical Check-up di salah satu rumah sakit paling baik di Banjarmasin; kalau tidak di rumah sakit Sari Mulia ya pasti di Rumah Sakit Suaka Insan. Biasanya pemeriksaan dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari beberapa orang dokter spesialis. Setiap dokter tersebut selalu mengawali pemeriksaan dengan pertanyaan yang sama: ”apa keluhan Bapak?” Sampai-sampai pada suatu ketika muncul niat iseng dari dalam hatiku lalu menjawab pertanyaan tersebut secara spontan:
-       Keluhan saya tetap sama seperti tahun yang lalu, dok. –
-       Oh ya? Apa pak keluhannya ..., tolong ceriterakan. -
-       Gaji saya nggak naik-naik. – kataku sambil terkekeh.
-       Oh, kalau begitu sama dong pak. Saya juga mengalami nasib yang sama seperti Bapak, dan saya belum tahu apa obatnya – jawab dokter sambil tertawa.

Tetapi sekarang aku bukan lagi menjalani medical ceck up. Aku sedang sakit sungguhan, jadi tidak bisa main-main. Aku mencoba menjelaskan dengan rinci kepada dokter Teddy apa yang aku rasakan selama ini. Dalam waktu sekitar 3 hari ini aku merasa tidak enak badan, sering mual, demam, nyeri, kesemutan dan gatal-gatal pada kulit punggung dan dada sampai ke perut sebelah kiri. Lalu di sekitar daerah rasa sakit itu muncul beberapa kelompok lepuhan kecil berisi cairan bening, dikelilingi warna kemerahan pada kulit. Dokter Teddy meyuruh aku berbaring di atas bed untuk menjalani pemeriksaan pisik. Setelah selesai melakukan pemeriksaan, ia menyuruh aku duduk kembali lalu menjelaskan bahwa aku diserang penyakit herpes zoster. Penyakit ini di Manado disebut ’ludah ular’ dan di Palangkaraya disebut kakap kambe[i]. Gelembung-gelembung lepuhan pada kulit itu akan semakin besar dan bertambah banyak, terasa sangat nyeri seperti luka bakar dan dapat pecah lalu menjadi jalan masuk bagi bakteri atau kuman lain, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder. Penyebabnya adalah virus varizolla zoster, yaitu virus yang juga menyebabkan cacar air. Biasanya virus ini hanya menyerang pada salah satu sisi tubuh, bagian kanan saja atau kiri saja. Ada mythos yang berkembang di masyarakat bahwa jika gelembung lepuhan itu menyebar pada sekeliling lingkaran tubuh maka dapat menyebabkan kematian, tetapi hal itu tidak pernah terbukti kebenarannya secara klinis. Sebenarnya penyakit ini akan sembuh sendiri tanpa diobati, setelah virus mengalami masa aktif dalam kurun waktu yang sangat bervariasi. Bisa satu minggu, dua minggu atau bahkan bisa juga sampai satu bulan. Obat-obatan dari dokter lebih banyak dimaksudkan hanya untuk mengurangi rasa sakit. Sambil memberikan penjelasan tersebut dokter Teddy menulis resep dan memberikannya kepadaku.
-    Bapak saya berikan resep obat untuk masa satu minggu, jika belum ada perubahan silahkan hubungi kami kembali. Obatnya dapat diambil di bagian Instalasi Farmasi. –
-    Terima kasih dok. – kataku lalu berjalan keluar ruangan, melintasi koridor menuju bagian instalasi farmasi. Sambil berjalan aku mencoba membaca apa yang tertulis pada lembaran resep. Rupanya dimana-mana tempat di dunia ini sama saja, tulisan tangan dokter pada resep obat selalu sulit dipahami oleh orang awam. Dengan susah payah aku hanya berhasil membaca beberapa bagian saja: salep Molavir 5 gram, acyclovir 200 mg 5x1, asam mefenamat 500 mg 3x1, paracetamol 500 mg 3x1, dexamethason 0,5 mg 1x1.
Setiba di ruang Instalasi Farmasi aku langsung menyerahkan resep kepada petugas loket. Sekitar 10 menit kemudian petugas itu memanggil aku kembali.
-    Bapak ada kesulitan nggak kalau harus minum obat tablet dalam jumlah agak banyak setiap hari? – ia bertanya.
-    Hmmm ... tidak juga, tapi mengapa pertanyaannya seperti itu? – aku balik bertanya.
-    Begini pak, kebetulan persediaan obat Acyclovir kemasan 200 mg di gudang kami tidak ada. Yang ada hanya kemasan 50 mg. Menurut resep dokter Bapak harus minum obat tersebut 5 kali 200 mg atau 1000 mg per-hari Karena obat yang ada hanya kemasan 50 mg, berarti Bapak harus meminum sebanyak 5 kali 4 tablet, atau 20 tablet per-hari. Itu belum termasuk tiga macam obat lainnya, yaitu asam mefenamat 3x1, paracetamol 3x1 dan dexamethason 1x1 tablet perhari. Apa Bapak setuju dengan obat yang ada ini, atau Bapak mau coba mencari yang kemasan 200 mg di apotik lain? -
Sebenarnya aku agak kaget dan kesal juga mendengarkan penjelasan petugas tersebut, tapi aku mau bilang apa lagi? Ini memang risiko. Apabila kita jatuh sakit maka segala-galanya jadi serba repot, serba rumit dan serba kacau. Karena itulah orang sering berkata bahwa mencegah supaya jangan sakit adalah lebih baik daripada mengobatinya. Itu memang benar, tapi dalam kenyataannya tidak segampang itu. Betapapun kita sudah berusaha menerapkan pola hidup sehat dan menghindari hal-hal yang dapat mengganggu kesehatan, ternyata penyakit tetap juga menyerang kita. Bahkan sering menyerang dengan tiba-tiba, dengan bentuk dan cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.



[i]      kakap kambe = digerayangi  hantu.