30 Mei 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bagian V)


Hari masih pagi ketika aku tiba di Rumah Sakit. Inilah pertamakalinya aku berobat di rumah sakit selama beberapa tahun terakhir. Aku memang termasuk orang yang jarang sakit, kecuali ketika masih kecil, sekitar kelas 3 Sekolah Dasar. Kalaupun aku sesekali mengalami sakit ringan seperti batuk dan pilek, biasanya cukup hanya dengan pergi berobat ke dokter praktek. Tetapi kali ini aku diserang penyakit aneh, tidak seperti biasanya.

Setelah melewati proses persyaratan administrasi yang cukup berliku-liku, seorang perawat yang cantik menyuruh aku masuk ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu telah menunggu seorang laki-laki tampan berumur sekitar 40 tahun. Tubuhnya gemuk pendek, kepalanya botak bagian depan. Menurut pendapatku penyebab botak itu hanya dua.  Kalau botak di kepala bagian depan, itu disebabkan karena cintanya sering ditolak, tapi kalau botaknya di bagian belakang berarti orang itu sangat disayang oleh mertuanya. Lelaki botak yang di depanku sekarang memakai jas warna putih, di dada bajunya sebelah kiri tertulis nama : dr. Teddy Taroreh. Pasti orang Manado, kataku dalam hati. Orang Manado itu punya banyak sekali kesamaan dengan orang  Dayak. Sama-sama mayoritas beragama nasrani, sama-sama berkulit putih, sama-sama rupawan dan rada mirip ethnis Cina, sama-sama suka makan B2 dan sama-sama suka minum tuak. Di tanah Dayak tuak disebut baram dan di Manado sangat terkenal dengan sebutan ’minuman cap tikus.’ Baik baram maupun minuman cap Tikus sering  ditenggak ramai-ramai untuk membuat orang asyik dan lupa diri. Membuat orang melanglang buana ke dunia antah berantah. Saking asyiknya nyong Manado menikmati minuman cap Tikus, mereka tak lagi tahu perbedaan antara siang dengan malam. Ada anekdot Kawanua menceriterakan dua orang Menado yang sedang berdiri sempoyongan di pinggir jalan. Mereka sepakat bertanya kepada seorang pejalan kaki yang lewat.
-    Teman, sekarang ini masih siang atau sudah malam? –
Pejalan kaki menjawab: - Eh, maaf teman. Aku orang baru disini. – ternyata yang bertanya dan yang ditanya sama saja, sedang dalam keadaan mabok berat.

-       Selamat pagi dok, - aku sengaja menyapa duluan.
-       Selamat pagi pak, silahkan duduk – kata dokter Teddy sambil menunjuk kursi yang tersedia di hadapannya. Ternyata ia seorang lelaki yang sangat ramah. Setelah aku duduk ia langsung bertanya.
– Apa yang menjadi keluhan Bapak? – sebuah pertanyaan standar yang mengingatkan aku pada masa-masa ketika aku belum pensiun. Dulu, setiap tahun aku wajib menjalani Medical Check-up di salah satu rumah sakit paling baik di Banjarmasin; kalau tidak di rumah sakit Sari Mulia ya pasti di Rumah Sakit Suaka Insan. Biasanya pemeriksaan dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari beberapa orang dokter spesialis. Setiap dokter tersebut selalu mengawali pemeriksaan dengan pertanyaan yang sama: ”apa keluhan Bapak?” Sampai-sampai pada suatu ketika muncul niat iseng dari dalam hatiku lalu menjawab pertanyaan tersebut secara spontan:
-       Keluhan saya tetap sama seperti tahun yang lalu, dok. –
-       Oh ya? Apa pak keluhannya ..., tolong ceriterakan. -
-       Gaji saya nggak naik-naik. – kataku sambil terkekeh.
-       Oh, kalau begitu sama dong pak. Saya juga mengalami nasib yang sama seperti Bapak, dan saya belum tahu apa obatnya – jawab dokter sambil tertawa.

Tetapi sekarang aku bukan lagi menjalani medical ceck up. Aku sedang sakit sungguhan, jadi tidak bisa main-main. Aku mencoba menjelaskan dengan rinci kepada dokter Teddy apa yang aku rasakan selama ini. Dalam waktu sekitar 3 hari ini aku merasa tidak enak badan, sering mual, demam, nyeri, kesemutan dan gatal-gatal pada kulit punggung dan dada sampai ke perut sebelah kiri. Lalu di sekitar daerah rasa sakit itu muncul beberapa kelompok lepuhan kecil berisi cairan bening, dikelilingi warna kemerahan pada kulit. Dokter Teddy meyuruh aku berbaring di atas bed untuk menjalani pemeriksaan pisik. Setelah selesai melakukan pemeriksaan, ia menyuruh aku duduk kembali lalu menjelaskan bahwa aku diserang penyakit herpes zoster. Penyakit ini di Manado disebut ’ludah ular’ dan di Palangkaraya disebut kakap kambe[i]. Gelembung-gelembung lepuhan pada kulit itu akan semakin besar dan bertambah banyak, terasa sangat nyeri seperti luka bakar dan dapat pecah lalu menjadi jalan masuk bagi bakteri atau kuman lain, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder. Penyebabnya adalah virus varizolla zoster, yaitu virus yang juga menyebabkan cacar air. Biasanya virus ini hanya menyerang pada salah satu sisi tubuh, bagian kanan saja atau kiri saja. Ada mythos yang berkembang di masyarakat bahwa jika gelembung lepuhan itu menyebar pada sekeliling lingkaran tubuh maka dapat menyebabkan kematian, tetapi hal itu tidak pernah terbukti kebenarannya secara klinis. Sebenarnya penyakit ini akan sembuh sendiri tanpa diobati, setelah virus mengalami masa aktif dalam kurun waktu yang sangat bervariasi. Bisa satu minggu, dua minggu atau bahkan bisa juga sampai satu bulan. Obat-obatan dari dokter lebih banyak dimaksudkan hanya untuk mengurangi rasa sakit. Sambil memberikan penjelasan tersebut dokter Teddy menulis resep dan memberikannya kepadaku.
-    Bapak saya berikan resep obat untuk masa satu minggu, jika belum ada perubahan silahkan hubungi kami kembali. Obatnya dapat diambil di bagian Instalasi Farmasi. –
-    Terima kasih dok. – kataku lalu berjalan keluar ruangan, melintasi koridor menuju bagian instalasi farmasi. Sambil berjalan aku mencoba membaca apa yang tertulis pada lembaran resep. Rupanya dimana-mana tempat di dunia ini sama saja, tulisan tangan dokter pada resep obat selalu sulit dipahami oleh orang awam. Dengan susah payah aku hanya berhasil membaca beberapa bagian saja: salep Molavir 5 gram, acyclovir 200 mg 5x1, asam mefenamat 500 mg 3x1, paracetamol 500 mg 3x1, dexamethason 0,5 mg 1x1.
Setiba di ruang Instalasi Farmasi aku langsung menyerahkan resep kepada petugas loket. Sekitar 10 menit kemudian petugas itu memanggil aku kembali.
-    Bapak ada kesulitan nggak kalau harus minum obat tablet dalam jumlah agak banyak setiap hari? – ia bertanya.
-    Hmmm ... tidak juga, tapi mengapa pertanyaannya seperti itu? – aku balik bertanya.
-    Begini pak, kebetulan persediaan obat Acyclovir kemasan 200 mg di gudang kami tidak ada. Yang ada hanya kemasan 50 mg. Menurut resep dokter Bapak harus minum obat tersebut 5 kali 200 mg atau 1000 mg per-hari Karena obat yang ada hanya kemasan 50 mg, berarti Bapak harus meminum sebanyak 5 kali 4 tablet, atau 20 tablet per-hari. Itu belum termasuk tiga macam obat lainnya, yaitu asam mefenamat 3x1, paracetamol 3x1 dan dexamethason 1x1 tablet perhari. Apa Bapak setuju dengan obat yang ada ini, atau Bapak mau coba mencari yang kemasan 200 mg di apotik lain? -
Sebenarnya aku agak kaget dan kesal juga mendengarkan penjelasan petugas tersebut, tapi aku mau bilang apa lagi? Ini memang risiko. Apabila kita jatuh sakit maka segala-galanya jadi serba repot, serba rumit dan serba kacau. Karena itulah orang sering berkata bahwa mencegah supaya jangan sakit adalah lebih baik daripada mengobatinya. Itu memang benar, tapi dalam kenyataannya tidak segampang itu. Betapapun kita sudah berusaha menerapkan pola hidup sehat dan menghindari hal-hal yang dapat mengganggu kesehatan, ternyata penyakit tetap juga menyerang kita. Bahkan sering menyerang dengan tiba-tiba, dengan bentuk dan cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.



[i]      kakap kambe = digerayangi  hantu.

27 Mei 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bagian IV)


Ketika aku dan Mala menjalani masa pacaran selama lebih kurang 3 tahun, Pak Samuel pindah tugas ke Corp Polisi Militer di kota Tarakan. Beliau bermaksud mengurus surat-surat pindah sekolah untuk kedua orang anaknya Mala dan Edy agar ikut ke Tarakan, tetapi Mala memilih tetap tinggal di Tanjung Redeb dan menjadi ibu dari anak-anakku.

Setelah melalui perjuangan berat, sedikit demi sedikit usaha dan kerja keras kami membangun tempat ini menjadi tempat tinggal yang nyaman akhirnya mulai jadi kenyataan. Sebagian besar apa yang kami tanam di sini berhasil tumbuh, meski perlahan. Di dalam kolam di samping rumah ada sekitar sepuluh ribu ekor ikan nila dan ikan patin yang sedang dalam masa pertumbuhan dan hampir siap panen. Karena itu kami menamakan tempat ini ”Pondok Nila.”

            Telepon seluler di kamarku berbunyi. Aku berdiri untuk mengambilnya, tapi hampir saja aku terjatuh kembali di kursi. Tiba-tiba punggungku terasa sakit luar biasa, seperti ditusuk dengan jarum. Aku berusaha sekuatnya tetap berdiri. Setelah rasa sakit agak reda  aku berjalan perlahan menuju kamar tidur dan mengangkat telepon.
-       Selamat pagi Wish, bagaimana keadaanmu? – dari seberang sana terdengar suara Mala.
-       Pagi, aku baik-baik saja - Aku tidak mau memberitahukan bahwa sebenarnya keadaanku tidak cukup baik.
-       Dari nada suaramu sepertinya kamu kurang sehat. – kata Mala dengan curiga dari ujung telepon. – Apa benar kamu baik-baik saja? –
-       Benar say, aku sehat-sehat saja. Kalian di Banjarmasin bagaimana? - tanyaku.
-       Kami juga baik. Tapi aku belum bisa kembali ke Pondok (maksudnya “Pondok Nila”) besok pagi, karena urusan perpanjangan STNK di Kantor Samsat Banjarmasin belum selesai. Mungkin baru selesai lusa, setelah itu baru aku pulang.
-       Ya, tidak apa-apa, yang penting tolong suruh anak-anak mengurus STNK-nya sampai selesai. – kataku.
Surat Tanda Nomor Kendaraan dan pembayaran pajak tahunan mobil kami akan jatuh tempo pada tanggal 16 Juli. Kantor Samsat hanya bersedia melayani permohonan perpanjangannya jika diajukan dalam waktu 2 atau 3 hari sebelum tanggal jatuh tempo, namun jika terlambat diajukan oleh pemilik  kendaraan maka kelambatan satu hari saja dapat dikenakan denda atau penalty dengan nilai sama dengan kelambatan selama 1 bulan.
-       Aku sih maunya cepat-cepat pulang. Kasihan kamu sendirian, pasti makan minumnya nggak teratur karena sibuk ngurus ikan di kolam. 
-       Jangan kawatir, aku bisa mengatasinya sendiri. –
Aku tahu bahwa Mala sedang bingung. Ia ingin segera pulang ke Pondok, tapi urusan di Banjarmasin belum selesai. Disamping itu ia pasti menginginkan untuk tinggal lebih lama bersama cucunya Keysha, puteri pertama anakku Aline yang baru berumur 4 bulan. Betapa cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru beberapa tahun saja aku dan Mala menikah, tahu-tahu sekarang kami sudah mempunyai cucu. Kata orang, rasa kasih sayang terhadap cucu jauh lebih kuat dibandingkan dengan terhadap anak-anak kita. Ungkapan itu memang tidak terlalu berlebihan. Tetapi kasih sayang Mala terhadap diriku melebihi segala-galanya. Itu aku tahu pasti, dan itulah yang paling aku sukai dari dia. Dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas, demikian telah tertulis di dalam kitab tua.
-       Sudah dulu ya Wish? Aku mau bersih-bersih rumah. – kata Mala dari ujung telepon.
-       Ya, titip cium dari Opa untuk Keysha – kataku sambil menutup telepon dan meletakkannya kembali di atas meja.
 
Aku berpikir sejenak tentang apa yang akan kukerjakan pada hari ini. Okey, nomor satu adalah mandi. Ketika aku mengangkat kedua tangan ke atas untuk membuka baju, sakit punggung terasa menyengat lagi. Bahkan kali ini dengan intensitas yang lebih tinggi, menusuk tembus sampai ke bagian bawah dada. Aku menatap ke dalam cermin di kamar mandi. Ternyata di sekitar punggung dan sisi badan sebelah kiri ada gelembung-gelembung sebesar biji cabe rawit, tumbuh secara berkelompok. Kucoba menekannya dengan ujung jari. Sakit, seperti disulut dengan puntung rokok yang sedang menyala. Akupun langsung mengambil keputusan: hal kedua yang aku lakukan hari ini adalah pergi ke rumah sakit umum Tamiang Layang untuk mencari tahu penyakit apa yang sedang aku alami.