16 Juli 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bag. 7)


Aku meraih ponsel di atas meja lalu mencoba mengubungi Mala.
-    Selamat pagi Wish. – ia tidak pernah mengucapkan kata ’halo’ setiap menerima telpon dari siapa saja.
-    Selamat pagi juga La. Kamu jadi berangkat ke Tamiang Layang hari ini? – tanyaku.
-    Jadi say. Ini sedang siap-siap mau pergi ke terminal. Bus-nya berangkat  jam delapan pagi.  
-    Berarti tiba di Tamiang sekitar jam dua siang.  – kataku.
-    Ya, sekitar jam dua siang. Kamu jemput aku di depan pasar Tamiang Layang ya? –
-    Ya La. Hati-hati di jalan. –
-    Terima kasih Wish, kamu mau aku belikan apa? –
-    Tidak La, terima kasih. Aku hanya mau kamu cepat datang saja. – kataku bergurau, ia tertawa geli.
-    OK Wish, sampai jumpa nanti siang. –
-    Ya, sampai nanti. –
            Bus yang membawa Mala tiba di Pasar Tamiang jam 13.45 WIB, lebih cepat limabelas menit dari yang kami perkirakan sebelumnya. Aku menaikkan barang-barang bawaannya ke mobil, lalu kami meneruskan perjalanan menuju Pondok Nila. Meski aku sudah membuat papan nama dan memasangnya di depan rumah, sebagian penduduk desa lebih suka menyebut tempat kami dengan nama Pondok Mala. Aku pikir, nothing to loose. Biarkan saja. Disini orang-orang memang lebih mengenal Mala ketimbang mengenal aku. Mungkin karena ia orang Ma’anyan, sedang aku adalah mahluk asing entah dari planet mana.
            Sepanjang perjalanan aku menggenggam tangannya sambil menyetir, hal yang sudah biasa aku lakukan apabila kami naik mobil berduaan.
-    Bagaimana kabar Keysha. – tanyaku tak sabar ingin segera mendengar cerita tentang cucu kami. Sejak ia lahir sampai sekarang aku belum sempat pergi ke Banjarmasin, jadi Keysha belum kenal dengan Opa-nya.
-    Wahhh, Keysha lucu sekali Wish. Ibu-ibu tetangga kita semua mengatakan mukanya bulat seperti aku, tapi bibirnya mirip bibir kamu –
-    Ya iyalah, - jawabku. – Namanya juga Keisya itu cucu kita, mana mungkin mukanya mirip tetangga. – Kami berdua tertawa ngakak.
            Setiba di depan Pondok, Mala keluar dari mobil lalu berdiri menengadah ke langit sambil membentangkan kedua belah tangannya lebar-lebar. Rambutnya tergerai ditiup angin. Ia menarik napas panjang, menghirup udara segar dengan sepuas-puasnya.
-    Wahhh... rasanya lega sekali. – katanya. – Hanya beberapa hari tinggal di Banjarmasin dadaku terasa sesak, beda sekali dengan udara di tempat ini. -
Aku sangat terharu dan langsung berdiri keluar dari dalam mobil lalu memeluknya dari belakang. Dalam hati aku berdoa: ”Ya Tuhan, aku mohon dengan segala kerendahan hati berikanlah aku dan isteriku kesehatan dan umur panjang, limabelas atau duapuluh tahun lagi dari sekarang. Berilah aku kesempatan dan kemampuan untuk menunjukkan cinta kasih yang tulus kepada Mala sampai kami memasuki usia senja, sampai engkau memanggil kami kembali ke hadapan hadiratmu. ”
            Apa yang aku ucapkan dalam doaku seolah bergema sampai ke dalam ruang batin Mala. Ia seperti mampu membaca isi pikiranku, lalu ia menarik lenganku dan melingkarkannya lebih erat pada tubuhnya. Sound system dari dalam mobil terdengar sampai keluar karena kedua  pintunya terbuka.  Salah satu lagu lama kesukaan kami  mengalun dari sana. Begitu manis, begitu lembut. Itulah suara penyanyi Dan Hill dalam singlenya Sometimes when we touch
          You ask me if I love you
          And I choke on my reply
          I'd rather hurt you honestly
          Than mislead you with a lie
                        And who am I to judge you
                        On what you say or do?
                        I'm only just beginning to see the real you
          And sometimes when we touch
          The honesty's too much
          And I have to close my eyes and hide
          I wanna hold you til I die
          Til we both break down and cry
          I wanna hold you till the fear in me subsides.

04 Juli 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bag. 6)




Pagi ini matahari bersinar cerah. Tampaknya musim kemarau sudah hampir tiba, tapi semoga saja bukan kemarau panjang seperti tahun lalu, semua kolam kering kerontang. Kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa ikan di kolamku duluan mati sebelum terjual.

Begitu bangun aku langsung sibuk membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan pagi. Kepergian Mala selama beberapa hari ke Banjarmasin bagiku merupakan pengalaman rohani sekaligus pelajaran hidup yang luar biasa. Pelajaran hidup yang pertama, ternyata aku bisa memasak dan mencuci pakaian sendiri. Sejak aku berhenti kuliah dan mulai bekerja sebagai karyawan bank, aku tidak pernah lagi mengerjakan dua macam tugas suci tersebut.

Aku menyebut memasak dan mencuci pakaian sebagai tugas suci bukan karena sekedar ingin bercanda. Memasak itu punya makna spiritual yang sangat tinggi. Coba saja tanyakan, apa yang paling menyenangkan bagi seorang wanita yang sudah bersuami? Kamu pasti mengira jawabannya adalah sex. Bukan, jawaban yang benar adalah memasak, membuat makanan. Menyaksikan suaminya makan adalah puncak kesenangan seorang wanita. Mengapa? Penjelasan mengenai akar penyebabnya bisa sangat panjang, tetapi esensinya bahwa hal itu sangat berhubungan erat dengan naluri manusia untuk tetap survive, untuk menjaga eksistensi mereka di muka bumi supaya terhindar dari kepunahan. Beribu-ribu tahun yang lalu manusia hidup berkelompok dalam suku-suku. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain demi untuk mendapatkan makanan. Kaum lelaki boleh kawin dan menggauli wanita sebanyak berapa yang mereka inginkan, dan menghasilkan banyak keturunan. Lalu timbullah teori Malthus: jumlah bahan makanan yang tersedia di dunia dari waktu ke waktu bertambah menurut deret hitung, tetapi jumlah manusia bertambah menurut deret ukur. Angka pertumbuhan yang tidak seimbang itu mengakibatkan krisis pangan. Terjadilah saling bunuh karena berebut makanan, mula-mula perang antar suku tetapi lama-lama antar sesama anggota suku itu sendiri. Yang paling duluan terbunuh adalah anak-anak dan orang lanjut usia, setelah itu para wanita karena mereka lebih lemah. Yang tersisa hanyalah kaum laki-laki, atau sejumlah kecil wanita yang berotot baja. Tapi laki-laki tanpa wanita tidak bisa punya keturunan. Mereka terancam punah. Maka dibuatlah aturan-aturan untuk menjaga keseimbangan alam semesta, satu lelaki hanya boleh menikah dengan satu wanita. Itulah pula sebabnya pada masa pemerintahan orde baru dibuat peraturan keluarga berencana: dua orang anak sudah cukup, lelaki atau perempuan sama saja. Jika aturan ini berhasil diterapkan secara nyata berarti pertumbuhan jumlah penduduk di negara kita adalah zero growth, tidak bertambah dan tidak berkurang. 
 
Adapun halnya mengenai kegiatan mencuci pakaian tidak bisa kita anggap sepele, karena dibalik kegiatan tersebut terkandung nilai filosofi kehidupan yang sangat mendasar.  Ada sebuah kalimat bijak dalam bahasa Jawa: Ajining diri soko lati, ajining rogo soko busono. Harga diri seseorang itu adalah dari apa yang dia ucapkan, harga badan itu dari pakaian. Dalam pengertian yang lebih luas kalimat itu mengandung makna bahwa setiap orang dalam pergaulan hidup sehari-hari haruslah mampu menjaga kehormatan dirinya, baik secara badaniah dalam wujud cara berpakaian yang pantas, bersih dan rapi, maupun juga penampilan secara batiniah dalam bentuk pengendalian diri, sehingga mulut kita hanya mengeluarkan kata-kata yang baik. Mencuci pakaian adalah pekerjaan yang memerlukan disiplin tinggi. Semakin lama kita tunda, semakin berat pekerjaan yang harus kita selesaikan pada keesokan harinya, karena jumlah cucian besok pasti akan menjadi lebih banyak daripada jika kita mencuci pada hari ini. Semakin berat pekerjaan yang kita hadapi, semakin malas pula kita memulai mengerjakannya. 

Pelajaran hidup yang kedua sehubungan dengan kepergian Mala adalah bahwa aku jadi lebih mengerti betapa berharganya ia bagi hidupku, bahkan juga bagi kedua orang anakku Riko dan Aline. Bagaimana tidak? Selama puluhan tahun sebelum ini aku tidak pernah menyadari betapa berat tugas isteriku mengurus rumah tangga kami. Setiap hari ia bangun lebih duluan dan tidur paling belakangan, karena harus menyiapkan sarapan pagi, menyiapkan anak-anakku pergi ke sekolah dan menyiapkan keperluan suaminya pergi ke tempat kerja. Setelah aku dan anak-anak pergi, ia harus membersihkan rumah, mencuci pakaian, pergi ke pasar, memasak dan menyiapkan makan siang, menyeterika, melipat pakaian dan setumpuk pekerjaan tetek-bengek lainnya yang tak ada habis-habisnya.  Menjelang petang ia sibuk lagi menyiapkan makan malam, membersihkan peralatan dapur bekas masak, menidurkan anak-anak ... dan bahkan juga menidurkan suaminya, setelah itu barulah ia sendiri bisa istirahat. Memang betul selama ini aku juga sangat sibuk dengan pekerjaan di Kantor, tetapi aku masih punya kesempatan untuk istirahat pada hari Sabtu, Minggu dan hari-hari libur lainnya. Sedangkan isteriku tidak, hari Minggu atau hari libur ia tetap sibuk seperti hari-hari biasa. Kami memang pernah mencoba menggaji pembantu rumah tangga. Sewaktu di Tanjungredeb pernah ada seorang pembantu dari Madura. Namanya Widji, umurnya masih belasan tahun. Waktu baru mulai bekerja ia memang rajin, hasil pekerjaannya rapi dan bersih. Tapi baru sekitar 8 bulan sudah mulai tidak karuan karena ia mabok pacaran dengan Syamsu, seorang pemuda penebang kayu dari Sulawesi yang tinggal di rumah sebelah. Ujung-ujungnya ia minta berhenti dengan alasan ingin menikah. Pembantu kami yang kedua orang Manado. Seumur-umur aku baru tahu bahwa ada juga orang Manado yang sudi menjadi pembantu rumah tangga. Namanya keren, Florcee Arietta Massie. Ia seorang janda muda tanpa anak. Dua tahun yang lalu ia datang dari Kawanua bersama suaminya Jimmy Mamahit, buruh perusahaan batu-bara yang beroperasi di Tanjungredeb. Tetapi Jimmy kemudian jatuh cinta pada Sunarti, tukang masak perusahaan di tempatnya bekerja, dan Florcee ditinggalkan begitu saja. Dasar Jimmy tukang ’mamahit’ di sembarang tempat, kataku dalam hati. Mamahit itu dalam bahasa Dayak Ngaju sama artinya dengan (maaf) pipis. Kalau nggak tahu arti pipis, sekali lagi mohon maaf, kencing. Sejak mulai bekerja di rumah kami Florcee memang sudah memberitahu bahwa ia ingin menjadi pembantu hanya selama tiga bulan, sekedar mencari uang secukupnya untuk beli tiket kapal laut dan biaya pulang ke Manado. Kami setuju. Tiga bulan kemudian ia mengundurkan diri secara baik-baik. Setelah Florcee, ada sekitar lima atau enam orang anak suku Dayak Benuaq dari pedalaman yang datang memohon untuk numpang tinggal di rumah kami. Mereka bersedia membantu pekerjaan mengurus rumah tangga dengan imbalan bahwa kami bersedia membayar biaya sekolahnya. Tetapi mereka tidak pernah lama, satu-persatu datang dan pergi. Setelah itu tugas mengurus rumah tangga dikerjakan sendiri seratus persen oleh isteriku. Anehnya, ia tak pernah mengeluh karena bosan atau lelah. Ia tetap melaksanakan pekerjaannya dengan gembira dan penuh semangat.