16 Maret 2012

SIAPA MAMPU MENGHENTIKAN WAKTU (Bagian 3)


Aku masih ingat hari-hari pertama kami memulai kegiatan di tempat ini. Berawal dari kegiatan mapping, mengukur dan menetapkan batas tanah yang kami beli dari pemilik sebelumnya; membuat denah pembagian fungsi pemanfaatan lahan untuk menentukan dimana sebaiknya mendirikan rumah tempat tinggal, dimana posisi taman, dimana posisi kolam ikan, dimana menanam pohon buah-buahan dan sebagainya; kemudian merintis dan membabat hutan. Semuanya harus dirancang dan dikerjakan sendiri oleh kami. Pekerjaan tersebut saja memerlukan waktu berminggu-minggu. Tiap hari kami pergi pagi dan pulang petang dari rumah mertuaku di pusat kota. Sementara aku menebas semak-semak belukar dan membersihkan lokasi, aku juga membayar sepuluh orang pekerja upahan untuk membangun rumah tempat tinggal, membuat sumur, menggali tanah untuk kolam ikan dan membuat pagar keliling untuk menghindari serangan babi piaraan penduduk yang masih banyak dibiarkan berkeliaran.

Karena jarak yang lumayan jauh dari kota, sesekali kami membawa makanan masak dari rumah mertuaku, tapi adakalanya Mala memasak untuk makan siang kami di lokasi kegiatan. Ia memasak dengan susah payah di tempat terbuka di atas tanah, menggunakan kayu bakar dari ranting-ranting kering yang dia kumpulkan sendiri langsung dari lokasi setempat. Aku merasa kasihan dan terharu melihat  isteriku. Ia sama-sekali tak pernah mengeluh dengan keadaan atau cara hidup yang kami jalani, walau aku tahu bahwa itu bukan hal yang mudah baginya. Pada hari-hari biasa ia memasak di rumah menggunakan kompor gas atau rice cooker listrik. Suatu hari selagi asyik memasak di tempat ini Mala baru sadar bahwa ia lupa membawa sendok nasi dari rumah. Dalam keadaan terburu-buru karena nasi sedang mendidih diatas tungku dan harus segera diaduk supaya tidak hangus, ia mengambil satu potongan kecil papan sisa bahan bangunan rumah kami. Potongan papan itu ia bentuk sedemikian rupa menjadi sendok nasi. Aku berusaha keras menyembunyikan rasa haru menyaksikan apa yang ia lakukan. Jangan sampai dia tahu bahwa aku tak mampu menahan air mata. Aku mengalihkan perhatian dengan cara memuji dan mencium pipinya, tapi sendok nasi dari kayu yang ia buat itu diam-diam aku simpan sampai saat ini.

Mala adalah seorang perempuan luar biasa. Bagiku dia bukan hanya seorang isteri, tetapi juga merupakan sahabat, teman bercanda, teman diskusi dan tidak jarang saling adu argumentasi, bahkan juga sering menjadi sasaran tumpahan omelan bila aku sedang kesal pada sesuatu, misalnya ketika kami berdua naik mobil melewati lalu lintas yang sedang macet. Ia selalu berhasil membuat aku lebih sabar menghadapi segala sesuatu yang tidak menyenangkan dalam kehidupan, juga membuat hidupku lebih punya makna. Ia  adalah belahan jiwaku. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya diriku andaikata ia tak ada. Hampir semua keputusan-keputusan besar yang aku buat sebagai kepala rumah tangga selalu ia dukung dengan sepenuh hati. Ia hampir tidak pernah mengatakan tidak setuju, meski kadang-kadang hasil akhir dari keputusan itu ternyata keliru. Apa saja yang aku sukai, ia juga menyukainya. Jenis musik dan lagu-lagu favoritku adalah juga jenis musik dan lagu favoritnya. Demikian juga halnya dalam memilih warna dan model baju. Kami sama-sama menyukai warna hitam dengan model sederhana dan kasual. Busana warna hitam itu membuat pemakainya tampak powerful, berwibawa, berkesan elegant, sophisticated, penuh rahasia dan bersifat abadi; meskipun ada juga orang yang mengatakan bahwa hitam bukanlah warna melainkan lambang kegelapan atau ketiadaan, sekaligus merupakan simbol dukacita dan kemurungan.

Aku mengenal Mala ketika ia berusia sangat muda. Ketika itu ia masih kelas 3 sekolah menengah pertama dan aku sudah 1 tahun bekerja sebagai crediet officer pada sebuah bank di kota Tanjung Redeb. Usia kami beda lebih 10 tahun, tapi entah apa yang membuat kami saling menyukai. Ia seorang gadis tomboy, lebih suka memakai baju kaos oblong dan celana Blue Jean’s ketimbang mengenakan gaun atau pakaian resmi wanita. Sifat tomboy itu mungkin tumbuh karena ia sangat mengagumi dan menganggap figur ayahnya sebagai sosok keteladanan. Ayahnya, Bapak Samuel seorang anggota pasukan Raider, batalyon pasukan elit infanteri Tentara Nasional Indonesia. Sebagai salah seorang  anggota pasukan raider beliau telah memperoleh pendidikan dan latihan khusus untuk perang modern, anti gerilya dan perang dalam waktu lama atau perang berlarut. Mereka dilatih untuk memiliki kemampuan tempur tiga kali lipat lebih handal dibandingkan dengan batalyon infanteri biasa. Keahlian utama mereka adalah melakukan penyergapan dan pertempuran jarak dekat, merupakan pasukan lawan gerilya dengan mobilitas tinggi, antara lain terjun parasut dari pesawat udara ataupun terjun dengan bantuan tali dari pesawat helikopter.  Pak Samuel bahkan pernah beberapa kali dikirim ke medan konflik ketika terjadi perang di Irian Barat dan Kalimantan Utara sekitar tahun 1961 - 1965. Itulah pula alasan bahwa puteri pertamanya diberi nama Mala. Ia lahir ketika ayahnya sedang dalam tugas perang melawan Malaysia di Kalimantan Utara.
 
Dalam agama Hindu orang mengenal ’mala’ sebagai perlengkapan sembahyang yang terbuat dari rangkaian buah ganitri. Fungsinya kurang lebih sama dengan tasbih bagi saudara kita yang muslim atau rosario bagi umat Nasrani, yaitu sebagai alat hitung dalam berdoa, sekaligus merupakan lambang kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual.