08 Juli 2013

KISAH MARGINO (bagian 4)



Hampir seluruh kantor instansi pemerintah di "negeri Jari Janang Kalalawah" sudah dirambah Margino dalam usaha mencari lowongan kerja. Mulai dari bundaran Burung Enggang di depan rumah betang Pasar Panas sampai KM 6 ke arah negara bagian Jaweten. Juga mulai trafic light di simpang tiga jalan Nansarunai sampai ke perbatasan desa Dorong. Pagi ini Margino mencoba pergi ke kawasan lain di seputar belakang gedung Mantawara. Hari masih pagi namun agak gerimis, jadi Margino terpaksa nebeng sepeda motor ayahnya yang ingin pergi menyadap karet, ngakarun (bagi hasil) di kebon milik mantan lurah di desa Haringen. Mereka harus menerobos melewati gang sempit dan becek karena Maringan (ayah Margino) takut melewati jalan raya. Bukan karena kurang lihai mengendarai, tapi ia kawatir ketemu dengan pak polantas, sebab STNK motornya entah sudah berapa tahun gak pernah diperpanjang. Kalau Gayus Tambunan berani korupsi pajak 25 miliar, masa' cuma ngemplang bayar pajak sepeda motor butut keluaran tahun 90-an aja kita gak berani? pikir Maringan. Apa kata dunia?
Di tengah perjalanan hujan semakin deras. Hampir saja terjadi insiden tabrakan karena sekawanan babi piaraan memotong jalan secara tiba-tiba.Untung saja Maringan cukup sigap menginjak rem. Huhhh, dasar babi... mau menyeberang gak bilang-bilang, hanya dia sama Tuhan yang tahu, sumpah Maringan. Di daerah itu babi piaraan memang sengaja dibiarkan berkeliaran sesuka hatinya.
Beberapa tahun yang lalu kepala desa setempat pernah mengeluarkan perdes atau peraturan desa supaya masing-masing peternak mengurung babi mereka di dalam kandang, tapi para warga rame-rame protes dengan alasan bahwa babi yg dikurung akan sulit berkembang biak. Lagipula jika dikurung siapa yang harus kasih makan? Nah lu!
Margino memberi isyarat kepada ayahnya untuk menepi. Iapun turun dari motor, berlari melintasi hujan menuju sebuah kantor di seberang jalan, sementara ayahnya langsung pergi.
Kantor yang dituju Margino tampak masih sepi. Memang masih terlalu pagi. Dari ujung koridor ada seorang lelaki berusia diatas 50-an berjalan ke arah Margino. Pakaiannya cukup rapi, sepatunya bersih dan ia memakai kacamata minus yang terlihat berkabut diterpa embun hujan pagi. Setelah dekat ia membuka kacamatanya dan (maaf ...) ternyata lighting-nya rusak sebelah.
- Selamat pagi pak, Margino duluan menyapa sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
- Selamat pagi nak, apa ada yang bisa saya bantu? sambut lelaki itu dengan sangat ramah.
- Saya mau melamar pekerjaan pak, - jelas Margino langsung to the point.
- Oh.. Silahkan nak. Tapi para pegawai lain masih belum datang, jadi kita bisa duduk-duduk dulu sambil ngobrol di bangku belakang sana.
- Terimakasih pak. - jawab Margino. Mereka berjalan melintasi koridor menuju bagian belakang.
Setiba di ujung koridor lelaki tua itu mengajak Margino duduk di bangku panjang yang menghadap ke taman belakang kantor. Gemuruh suara hujan semakin besar, hingga mereka agak sulit saling mendengar pembicaraan.
- Siapa nama kamu nak? si lelaki tua bertanya.
- Margino pak. -
- Kamu orang asli sini ya?
- Ya pak. Ibu saya orang Dayak Maanyan, tapi ayah saya orang Batak.
- Apa kamu bisa berbahasa Batak?
- Saya cuma bisa satu kalimat saja: 'dang adong hepeng.'
- Kalau itu sih saya juga tahu, artinya saya tidak punya uang, kata si lelaki tua sambil tertawa. Margino juga tertawa.

Bersambung ...
 


02 Juli 2013

KISAH MARGINO (Bagian 3)







Tiba-tiba seorang lelaki memarkir gerobak reyot yang berisi separuh dengan botol dan gelas plastik bekas kemasan minuman mineral, bercampur aduk dengan seonggok besi rongsokan. Lelaki itu berhenti tepat di depan rombong milik paman penjual es kelapa. Ia langsung memesan segelas minuman, kemudian duduk di bangku panjang di samping Margino. Matanya plarak-plirik, lalu tertuju pada stovmaf di depan Margino.
- Baru dari melamar kerja ya mas... - si pemulung itu bertanya.
- Iya mas, tapi belum berhasil,-  jawab Margino seadanya.
- Maaf, sampeyan tadinya lulusan apa? -
- Hanya lulusan SMU. - jawab Margino lagi.
- Memang sulit mas. Sekarang kantor-kantor hanya mau menerima S1 atau S2. Itupun baru ada penerimaan melalui test setiap 2 atau 3 tahun sekali.
- Mas juga rupanya sedang mencari kerja ya? - kini Margino yang balik bertanya.
- Oh, kalau saya gak lagi, sudah mentok Mas. -
- Kok mentok? -
- Ya. Sejak lima atau enam tahun yang lalu saya sudah coba melamar kerja di kantor-kantor di kota ini, namun selalu ditolak karena alasan belum cukup syarat. Kurang nilai NEM-lah, kurang skkb-lah, kurang legalisasi photo copy ijazah, kurang surat pengalaman kerja.
- Orang baru sedang mencari kerja kok diminta surat keterangan pengalaman kerja. Ya gak nalar dong,  - timpal Margino.
- Ya begitulah. Setelah kekurangan syarat-syarat itu saya coba lengkapi, tahun lalu lamaran saya ditolak lagi dengan alasan "syaratnya kelebihan."
- Lho, kok bisa kelebihan? - tanya Margino semakin tidak mengerti.
- Ya. Saya kelebihan umur Mas, yang dicari harus berusia maksimal 24 tahun, sedangkan saya 25. -
- Ooo ... kata Margino tanpa sadar lalu tertawa ngakak. Bahkan paman es kelapa juga ikut-ikutan tertawa. Memang agak lucu, tetapi getir. Tiba2 saja antara Margino dengan si pemulung dan penjual es kelapa itu terjalin rasa keakraban. Mereka saling membuka rahasia suka-duka dan berbagai pengalaman hidup masa lalu.
- Kalau sampeyan punya pengalaman apa dalam hal mencari kerja? - tanya Margino kepada penjual es kelapa. Lelaki tua itu merenung sejenak, lalu menjawab.
- Saya memang gak punya pengalaman melamar mau jadi pns seperti kalian berdua, ... tapi saya dulu pernah mencoba mendaftar mau masuk sekolah tentara. -
- Terus bagaimana? - tanya si pemulung.
- Saya tidak diterima gara-gara bertengkar dengan petugas yang menerima pendaftaran calon siswa.
- Bertengkar karena masalah uang pelicin? - tanya Margino mencoba menebak.
- Bukan mas, bukan itu masalahnya. -
- Lalu masalah apa? -
- Petugas itu memberitahu bahwa saya tidak lulus seleksi karena beberapa gigi saya rusak (ompöng). Saya tidak terima, lalu balik bertanya apa hubungan antara gigi ompong dengan tidak bisa diterima masuk sekolah tentara? Memangnya para prajurit kalau perang harus main gigit, bukannya pakai senjata api? –
- Terus ... apa jawab petugas tersebut? – Margino bertanya.
- Dia memang tdk dapat menjawab pertanyaan saya, tapi saya malah diusir keluar...  - kata si penjual es menutup cerita pengalamannya.

(bersambung ...)

17 Juni 2013

KISAH MARGINO (bagian 2)



Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulanpun menjadi tahun. Margino kecil kini tumbuh menjadi pria dewasa. Meski dengan susah payah, iapun berhasil juga menyelesaikan pendidikan di tingkat SMU. Sebenarnya ia inginsekali melanjutkan pendidikan ke STPDN Jatinangor, supaya kelak dapat menduduki posisi yg lebih baik sebagai pns. Namun karena ada berita miring mengenai perlakuan kurang baik oleh para senior terhadap para mahasiswa baru di sekolah tinggi tersebut maka Margino terpaksa mengurungkan niatnya, lalu memilih untuk melamar jadi pns dengan modal ijazah SMU saja. Maka mulailah ia mencoba menyebarkan surat lamaran kerja ke beberapa instansi pemerintah kabupaten di kota kelahirannya,  'Bumi Jari Janang Kalalawah' (artinya: menjadi jaya selamanya). Berminggu-minggu iapun berjalan kaki menenteng stovmaf berisi berkas lamaran kerja itu dari satu kantor ke kantor yang lain, tapi jawaban yang dia dapat ternyata sama dan sebangun: tidak ada lowongan.
***
Hari itu panas sang surya serasa membakar ubun-ubun. Ini adalah minggu ketujuh Margino menenteng stovmaf folio merah jambu, keluar masuk kantor untuk urusan mencari kerja. Stovmaf itu sudah mulai lusuh kena keringat Margino bercampur dengan debu panas jalanan yang menempel. Meski demikian belum ada juga titik terang atau harapan bahwa ia akan mendapat pekerjaan. Margino sudah sangat lelah dan lapar, tapi ia belum mau kembali ke rumah. Ia baru saja keluar dari halaman kantor paling megah di Bumi Jari Janang Kalalawah. Sangat ironis, pikir Margino dalam hati. Jangankan 'menjadi jaya selamanya', mau melamar jadi pegawai honorer saja tidak kunjung diterima. Sungguh terrrlaluuu... seperti kata bang Haji Rhoma Irama. Sambil melangkah keluar ia merogoh saku celana. Ternyata masih ada sisa tiga lembar uang gambar Pangeran Antasari, pahlawan nasional dari Kalimantan Selatan - bukan Antasari Azhar yang masuk bui gara2 didakwa selingkuh dengan Rani Juliani, lalu membunuh direktur utama PT. Putra Rajawali Banjaran.
Ekat enem ribu rupiah. Uang sebanyak itu mana cukup buat membeli satu porsi makan siang, pikir Margino dalam hati. Iapun setengah berlari menyeberang jalan. Disitu, dibawah pepohonan rindang dekat trotoar terdapat paman gerobak dorong jualan es kelapa muda. Ia memesan satu gelas dan menghirupnya dalam-dalam. Ahhh... segarrr, katanya dalam hati. Apalagi ditambah dengan semilir angin yang bertiup perlahan dari sela dahan pohon beringin yang rindang, membuat matanya ingin terpejam.


(bersambung ...)

12 Juni 2013

KISAH MARGINO

Tertulislah kisah tentang seorang lelaki bernama Margino. Ayahnya bernama Maringan Marbun, berasal dari tanah Batak; sedangkan ibunya bernama Marliane dari daerah Maanyan, Kecamatan Dusun Timur, kabupaten Bartim - propinsi Kalimantan Tengah. Jadi dapat dikatakan bahwa Margino adalah keturunan BATMAN (maksudnya: Batak & Maanyan). Tapi mengapa kok namanya Margino, seperti nama orang Jawa? Oh, itu ada sejarahnya tersendiri. Sewaktu Margino masih dalam kandungan ibunya, ayahnya Maringan sudah punya harapan agar jika kelak lahir dan dewasa si jabang bayi ini harus jadi seorang pegawai negeri sipil. Jadi PNS itu enak, gajinya lumayan, jam kerjanya tidak terlalu ketat seperti pegawai bumn atau pegawai perusahaan swasta seperti di PT Adaro. Kalau sudah punya SK sebagai pegawai tetap, seorang PNS dapat kemudahan untuk mengajukan fasilitas kredit pada bank pemerintah setempat, untuk pembelian kendaraan bermotor, untuk perbaikan rumah atau untuk sekedar membeli perabotan rumah tangga. Manakala dia sendiri atau salah satu anggota keluarganya jatuh sakit mereka tidak perlu bingung, karena bisa berobat dengan gratis menggunakan kartu askes. Apabila nasib beruntung bisa mendapat posisi atau jabatan tertentu, mereka boleh menempati rumah dinas, mendapatkan sepeda motor atau mobil dinas,  dengan BBM yang ditanggung secara cuma-cuma dalam jumlah tidak terbatas, karena pemerintah tidak akan pernah membatasi atau mengawasi apakah kendaraan dinas itu digunakan untuk keperluan pelaksanaan tugas kantor, atau digunakan untuk pergi memancing, pergi ibadah, mengantar anak sekolah dan isteri ke pasar, untuk melangsir BBM di SPBU ataupun untuk pergi menyadap karet pada saat di luar jam kerja kantor. Bahkan kalau sudah tua dan purna tugas, mereka akan mendapat uang pensiun setiap bulan. Tapi untuk bisa diterima menjadi PNS itu bukan hal gampang. Saingannya banyak. Harus berani nyogok sana-sini supaya lulus test. Bahkan kabarnya ada yg minta uang pelicin sampai senilai ratusan juta. Sedangkan Maringan dan isterinya Marliane hanyalah seorang petani lahan kering, dari mana mungkin mereka mendapatkan uang sebanyak itu? Nah, untuk mengantisipasi hal itulah bang Maringan jauh-jauh hari sudah mengatur siasat. Menurut cerita yang didapat Maringan dari tetangganya Martinus yang kebetulan seorang PNS, bahwa sebagian besar kepala dinas atau kepala kantor saat itu dipegang oleh orang Jawa. Kebetulan pula menurut hasil pengamatan Martinus selama beberapa kali mengikuti test masuk PNS, sebagian besar capeg yg lulus adalah saudara-saudara kita dari pulau Jawa, atau paling tidak yang namanya mirip nama Jawa. Hal ini memang kedengarannya kurang enak dan berbau sara, padahal belum tentu benar karena belum pernah dilakukan penelitian dan pembuktian secara empiris. Tapi Maringan sudah terlanjur percaya kepada cerita Martinus, dan karena itulah tekadnya sudah bulat, Jika anaknya yang akan lahir nanti seorang laki-laki akan diberi nama  Margino dan jika seorang perempuan akan diberi nama Marginem.

(bersambung) 

22 April 2013

TAWIU

KISAH TAWIU

Tawiu, seorang lelaki bersahaja yang tinggal di desa. Usianya masih relatif muda, sekitar duapuluh tujuh tahun, belum berumah-tangga. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah berladang, berburu dan menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Suatu hari terjadi suatu peristiwa heboh di rumah kediaman Tawiu. Anjing milik tetangga tiba-tiba tanpa alasan, dengan beringas mengejar induk ayam milik Tawiu, padahal induk ayam itu sedang menjaga 12 ekor anaknya yang masih kecil-kecil. Si Induk Ayam mencoba melakukan perlawanan, sementara sejumlah anaknya berlarian panik kesana-kemari mencari tempat bersembunyi. Ada yang bersembunyi ke semak-semak di bawah rumpun pisang, ada juga sebagian yang lari masuk ke dalam lumbung lalu bersembunyi di sela sejumlah keranjang rotan tempat penyimpanan padi. Salah satu diantaranya terpojok di sudut gelap diantara keranjang penyimpanan padi, lalu akhirnya mati.

Kejadian itu membuat Tawiu sangat menyesal dan berdukacita. Andai saja ayam kecil itu tidak mati, ia akan menjadi orang kaya. Anak ayam itu akan menjadi besar dan bertelor 12, lalu keduabelas ekor itu menetas dan masing-masing bertelor 12 lagi setiap 3 bulan, berarti dalam waktu setahun ke depan ayam milik Tawiu akan bertambah secara kumulatif menurut deret ukur menjadi 12 x 12 x 12 x 12 = 20.736 ekor. Kalau tiap ekor ayam dewasa dijual di pasar seharga Rp 45.000 berarti Tawiu bisa mendapatkan uang sebesar Rp 933.120.000. Itu perhitungan realita, bukan mengada-ada. Sembilanratus tigapuluhtiga juta seratus duapuluh ribu rupiah. Itu uang loh, bukan daun kayu.

Tapi apa mau dikata, Tawiu sadar bahwa ia tidak mungkin menuntut ganti rugi kepada si pemilik anjing yang kehidupannya juga serba pas-pasan. Bahkan lebih miskin dibandingkan dengan Tawiu. Dengan hati sedih Tawiu memungut anak ayam yang sudah mati itu, berpikir sebentar, apa yang harus dia lakukan terhadap bangkai anak ayam tersebut. Apakah dimasak? Tidak mungkin, karena ayam itu masih terlalu kecil. Apakah langsung dikubur? Atau buang saja ke sungai? Jiaaaaaahhh! Tiba-tiba saja di dalam benaknya timbul ide. Ayam kecil itu dibedahnya, isi perutnya dia ambil untuk dijadikan sebagai umpan memancing ikan di sungai.

Hari sudah sore. Tawiu sedang duduk di atas perahu kecil yang ditambat di pinggir sungai sejak beberapa jam yang lalu. Ia sedang menjalani ujian kesabaran, mencoba memancing ikan di sungai yang airnya sudah tercemar limbah mercury, dampak daripada usaha pertambangan emas secara liar yang dilakukan oleh penduduk, juga tercemar limbah pupuk kimia dan bahan pestisida dari perkebunan sawit milik para pengusaha dari ibukota yang menguasai sebagian besar lahan di sekitar desa mereka. Kehidupan dari hari ke hari terasa semakin sulit. Berladang dan berburu semakin tidak memberikan hasil karena lahan telah dibabat untuk areal perkebunan. Memancing juga sulit karena ikan di sungai semakin langka. Memungut hasil hutan berupa rotan dan karet? Harga barang hasil bumi tsebut terus merosot karena tergantung dengan harga pasaran di luar negeri. Mau jadi pegawai negeri sipil atau menjadi buruh perkebunan juga mustahil karena Tawiu dan sebagian banyak penduduk desa tidak memenuhi syarat, sebab mereka hanya menyandang gelar SDtt (Sekolah Dasar tidak tamat). Alhasil, ya itu tadi, kehidupan stagnan, jalan di tempat. Tidak maju, tidak juga mundur.

Selagi Tawiu merenung sejenak tentang kesulitan hidupnya, hari semakin senja. Sinar matahari semakin temaram. Dari semak-semak di atas pepohonan pinggir terdengan suara ranting patah dan kemerosok daun. Tawiu mengarahkan pandangannya ke arah puncak pohon, ternyata di situ ada seekor beruk jantan yang juga sedang menatap ke arah Tawiu. Beruk jantan itu langsung bertanya:
"Sedang apa kamu Tawiu?"
"Sedang memancing." jawab Tawiu seadanya.
"Sudah banyak dapat ikan?" tanya Beruk lagi.
"Satu ekorpun belum dapat."
"Pake umpan apa?" lagi-lagi Om Beruk bertanya.
"Umpan kanain manuk matei rokok seruk lusuk." (maksudnya: umpan usus ayam mati terpojok di sela-sela keranjang di lumbung padi).
Setelah mendapat jawaban, Om Beruk pergi begitu saja meninggalkan Tawiu tanpa permisi. Benar-benar beruk tidak mengenal tata-krama, kata Tawiu mengeluh dalam hati. Tapi rupanya datang lagi seekor beruk betina dan langsung bertanya kepada Tawiu:
"Hai Tawiu, sedang apa kamu di situ?"
"Sedang 'mancing." jawab Tawiu.
"Sudah berapa banyak dapat ikan?"
"Belum ada dapat apa-apa."
"Kamu pake umpan apa sih?" tanya si Tante Beruk dengan sedikit genit.
"Umpan kanain manuk matei rokok seruk lusuk."
"Occe, semoga sukses ya Tawiu, daaaaaag ... " kata si Tante Beruk lalu pergi.

.......... (Bersambung ke bagian 2.) ..........