17 Juni 2013

KISAH MARGINO (bagian 2)



Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulanpun menjadi tahun. Margino kecil kini tumbuh menjadi pria dewasa. Meski dengan susah payah, iapun berhasil juga menyelesaikan pendidikan di tingkat SMU. Sebenarnya ia inginsekali melanjutkan pendidikan ke STPDN Jatinangor, supaya kelak dapat menduduki posisi yg lebih baik sebagai pns. Namun karena ada berita miring mengenai perlakuan kurang baik oleh para senior terhadap para mahasiswa baru di sekolah tinggi tersebut maka Margino terpaksa mengurungkan niatnya, lalu memilih untuk melamar jadi pns dengan modal ijazah SMU saja. Maka mulailah ia mencoba menyebarkan surat lamaran kerja ke beberapa instansi pemerintah kabupaten di kota kelahirannya,  'Bumi Jari Janang Kalalawah' (artinya: menjadi jaya selamanya). Berminggu-minggu iapun berjalan kaki menenteng stovmaf berisi berkas lamaran kerja itu dari satu kantor ke kantor yang lain, tapi jawaban yang dia dapat ternyata sama dan sebangun: tidak ada lowongan.
***
Hari itu panas sang surya serasa membakar ubun-ubun. Ini adalah minggu ketujuh Margino menenteng stovmaf folio merah jambu, keluar masuk kantor untuk urusan mencari kerja. Stovmaf itu sudah mulai lusuh kena keringat Margino bercampur dengan debu panas jalanan yang menempel. Meski demikian belum ada juga titik terang atau harapan bahwa ia akan mendapat pekerjaan. Margino sudah sangat lelah dan lapar, tapi ia belum mau kembali ke rumah. Ia baru saja keluar dari halaman kantor paling megah di Bumi Jari Janang Kalalawah. Sangat ironis, pikir Margino dalam hati. Jangankan 'menjadi jaya selamanya', mau melamar jadi pegawai honorer saja tidak kunjung diterima. Sungguh terrrlaluuu... seperti kata bang Haji Rhoma Irama. Sambil melangkah keluar ia merogoh saku celana. Ternyata masih ada sisa tiga lembar uang gambar Pangeran Antasari, pahlawan nasional dari Kalimantan Selatan - bukan Antasari Azhar yang masuk bui gara2 didakwa selingkuh dengan Rani Juliani, lalu membunuh direktur utama PT. Putra Rajawali Banjaran.
Ekat enem ribu rupiah. Uang sebanyak itu mana cukup buat membeli satu porsi makan siang, pikir Margino dalam hati. Iapun setengah berlari menyeberang jalan. Disitu, dibawah pepohonan rindang dekat trotoar terdapat paman gerobak dorong jualan es kelapa muda. Ia memesan satu gelas dan menghirupnya dalam-dalam. Ahhh... segarrr, katanya dalam hati. Apalagi ditambah dengan semilir angin yang bertiup perlahan dari sela dahan pohon beringin yang rindang, membuat matanya ingin terpejam.


(bersambung ...)

12 Juni 2013

KISAH MARGINO

Tertulislah kisah tentang seorang lelaki bernama Margino. Ayahnya bernama Maringan Marbun, berasal dari tanah Batak; sedangkan ibunya bernama Marliane dari daerah Maanyan, Kecamatan Dusun Timur, kabupaten Bartim - propinsi Kalimantan Tengah. Jadi dapat dikatakan bahwa Margino adalah keturunan BATMAN (maksudnya: Batak & Maanyan). Tapi mengapa kok namanya Margino, seperti nama orang Jawa? Oh, itu ada sejarahnya tersendiri. Sewaktu Margino masih dalam kandungan ibunya, ayahnya Maringan sudah punya harapan agar jika kelak lahir dan dewasa si jabang bayi ini harus jadi seorang pegawai negeri sipil. Jadi PNS itu enak, gajinya lumayan, jam kerjanya tidak terlalu ketat seperti pegawai bumn atau pegawai perusahaan swasta seperti di PT Adaro. Kalau sudah punya SK sebagai pegawai tetap, seorang PNS dapat kemudahan untuk mengajukan fasilitas kredit pada bank pemerintah setempat, untuk pembelian kendaraan bermotor, untuk perbaikan rumah atau untuk sekedar membeli perabotan rumah tangga. Manakala dia sendiri atau salah satu anggota keluarganya jatuh sakit mereka tidak perlu bingung, karena bisa berobat dengan gratis menggunakan kartu askes. Apabila nasib beruntung bisa mendapat posisi atau jabatan tertentu, mereka boleh menempati rumah dinas, mendapatkan sepeda motor atau mobil dinas,  dengan BBM yang ditanggung secara cuma-cuma dalam jumlah tidak terbatas, karena pemerintah tidak akan pernah membatasi atau mengawasi apakah kendaraan dinas itu digunakan untuk keperluan pelaksanaan tugas kantor, atau digunakan untuk pergi memancing, pergi ibadah, mengantar anak sekolah dan isteri ke pasar, untuk melangsir BBM di SPBU ataupun untuk pergi menyadap karet pada saat di luar jam kerja kantor. Bahkan kalau sudah tua dan purna tugas, mereka akan mendapat uang pensiun setiap bulan. Tapi untuk bisa diterima menjadi PNS itu bukan hal gampang. Saingannya banyak. Harus berani nyogok sana-sini supaya lulus test. Bahkan kabarnya ada yg minta uang pelicin sampai senilai ratusan juta. Sedangkan Maringan dan isterinya Marliane hanyalah seorang petani lahan kering, dari mana mungkin mereka mendapatkan uang sebanyak itu? Nah, untuk mengantisipasi hal itulah bang Maringan jauh-jauh hari sudah mengatur siasat. Menurut cerita yang didapat Maringan dari tetangganya Martinus yang kebetulan seorang PNS, bahwa sebagian besar kepala dinas atau kepala kantor saat itu dipegang oleh orang Jawa. Kebetulan pula menurut hasil pengamatan Martinus selama beberapa kali mengikuti test masuk PNS, sebagian besar capeg yg lulus adalah saudara-saudara kita dari pulau Jawa, atau paling tidak yang namanya mirip nama Jawa. Hal ini memang kedengarannya kurang enak dan berbau sara, padahal belum tentu benar karena belum pernah dilakukan penelitian dan pembuktian secara empiris. Tapi Maringan sudah terlanjur percaya kepada cerita Martinus, dan karena itulah tekadnya sudah bulat, Jika anaknya yang akan lahir nanti seorang laki-laki akan diberi nama  Margino dan jika seorang perempuan akan diberi nama Marginem.

(bersambung)