KISAH TAWIU
Tawiu, seorang lelaki bersahaja yang tinggal di desa. Usianya masih relatif muda, sekitar duapuluh tujuh tahun, belum berumah-tangga. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah berladang, berburu dan menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Suatu hari terjadi suatu peristiwa heboh di rumah kediaman Tawiu. Anjing milik tetangga tiba-tiba tanpa alasan, dengan beringas mengejar induk ayam milik Tawiu, padahal induk ayam itu sedang menjaga 12 ekor anaknya yang masih kecil-kecil. Si Induk Ayam mencoba melakukan perlawanan, sementara sejumlah anaknya berlarian panik kesana-kemari mencari tempat bersembunyi. Ada yang bersembunyi ke semak-semak di bawah rumpun pisang, ada juga sebagian yang lari masuk ke dalam lumbung lalu bersembunyi di sela sejumlah keranjang rotan tempat penyimpanan padi. Salah satu diantaranya terpojok di sudut gelap diantara keranjang penyimpanan padi, lalu akhirnya mati.
Kejadian itu membuat Tawiu sangat menyesal dan berdukacita. Andai saja ayam kecil itu tidak mati, ia akan menjadi orang kaya. Anak ayam itu akan menjadi besar dan bertelor 12, lalu keduabelas ekor itu menetas dan masing-masing bertelor 12 lagi setiap 3 bulan, berarti dalam waktu setahun ke depan ayam milik Tawiu akan bertambah secara kumulatif menurut deret ukur menjadi 12 x 12 x 12 x 12 = 20.736 ekor. Kalau tiap ekor ayam dewasa dijual di pasar seharga Rp 45.000 berarti Tawiu bisa mendapatkan uang sebesar Rp 933.120.000. Itu perhitungan realita, bukan mengada-ada. Sembilanratus tigapuluhtiga juta seratus duapuluh ribu rupiah. Itu uang loh, bukan daun kayu.
Tapi apa mau dikata, Tawiu sadar bahwa ia tidak mungkin menuntut ganti rugi kepada si pemilik anjing yang kehidupannya juga serba pas-pasan. Bahkan lebih miskin dibandingkan dengan Tawiu. Dengan hati sedih Tawiu memungut anak ayam yang sudah mati itu, berpikir sebentar, apa yang harus dia lakukan terhadap bangkai anak ayam tersebut. Apakah dimasak? Tidak mungkin, karena ayam itu masih terlalu kecil. Apakah langsung dikubur? Atau buang saja ke sungai? Jiaaaaaahhh! Tiba-tiba saja di dalam benaknya timbul ide. Ayam kecil itu dibedahnya, isi perutnya dia ambil untuk dijadikan sebagai umpan memancing ikan di sungai.
Hari sudah sore. Tawiu sedang duduk di atas perahu kecil yang ditambat di pinggir sungai sejak beberapa jam yang lalu. Ia sedang menjalani ujian kesabaran, mencoba memancing ikan di sungai yang airnya sudah tercemar limbah mercury, dampak daripada usaha pertambangan emas secara liar yang dilakukan oleh penduduk, juga tercemar limbah pupuk kimia dan bahan pestisida dari perkebunan sawit milik para pengusaha dari ibukota yang menguasai sebagian besar lahan di sekitar desa mereka. Kehidupan dari hari ke hari terasa semakin sulit. Berladang dan berburu semakin tidak memberikan hasil karena lahan telah dibabat untuk areal perkebunan. Memancing juga sulit karena ikan di sungai semakin langka. Memungut hasil hutan berupa rotan dan karet? Harga barang hasil bumi tsebut terus merosot karena tergantung dengan harga pasaran di luar negeri. Mau jadi pegawai negeri sipil atau menjadi buruh perkebunan juga mustahil karena Tawiu dan sebagian banyak penduduk desa tidak memenuhi syarat, sebab mereka hanya menyandang gelar SDtt (Sekolah Dasar tidak tamat). Alhasil, ya itu tadi, kehidupan stagnan, jalan di tempat. Tidak maju, tidak juga mundur.
Selagi Tawiu merenung sejenak tentang kesulitan hidupnya, hari semakin senja. Sinar matahari semakin temaram. Dari semak-semak di atas pepohonan pinggir terdengan suara ranting patah dan kemerosok daun. Tawiu mengarahkan pandangannya ke arah puncak pohon, ternyata di situ ada seekor beruk jantan yang juga sedang menatap ke arah Tawiu. Beruk jantan itu langsung bertanya:
"Sedang apa kamu Tawiu?"
"Sedang memancing." jawab Tawiu seadanya.
"Sudah banyak dapat ikan?" tanya Beruk lagi.
"Satu ekorpun belum dapat."
"Pake umpan apa?" lagi-lagi Om Beruk bertanya.
"Umpan kanain manuk matei rokok seruk lusuk." (maksudnya: umpan usus ayam mati terpojok di sela-sela keranjang di lumbung padi).
Setelah mendapat jawaban, Om Beruk pergi begitu saja meninggalkan Tawiu tanpa permisi. Benar-benar beruk tidak mengenal tata-krama, kata Tawiu mengeluh dalam hati. Tapi rupanya datang lagi seekor beruk betina dan langsung bertanya kepada Tawiu:
"Hai Tawiu, sedang apa kamu di situ?"
"Sedang 'mancing." jawab Tawiu.
"Sudah berapa banyak dapat ikan?"
"Belum ada dapat apa-apa."
"Kamu pake umpan apa sih?" tanya si Tante Beruk dengan sedikit genit.
"Umpan kanain manuk matei rokok seruk lusuk."
"Occe, semoga sukses ya Tawiu, daaaaaag ... " kata si Tante Beruk lalu pergi.
.......... (Bersambung ke bagian 2.) ..........
Tawiu, seorang lelaki bersahaja yang tinggal di desa. Usianya masih relatif muda, sekitar duapuluh tujuh tahun, belum berumah-tangga. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah berladang, berburu dan menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Suatu hari terjadi suatu peristiwa heboh di rumah kediaman Tawiu. Anjing milik tetangga tiba-tiba tanpa alasan, dengan beringas mengejar induk ayam milik Tawiu, padahal induk ayam itu sedang menjaga 12 ekor anaknya yang masih kecil-kecil. Si Induk Ayam mencoba melakukan perlawanan, sementara sejumlah anaknya berlarian panik kesana-kemari mencari tempat bersembunyi. Ada yang bersembunyi ke semak-semak di bawah rumpun pisang, ada juga sebagian yang lari masuk ke dalam lumbung lalu bersembunyi di sela sejumlah keranjang rotan tempat penyimpanan padi. Salah satu diantaranya terpojok di sudut gelap diantara keranjang penyimpanan padi, lalu akhirnya mati.
Kejadian itu membuat Tawiu sangat menyesal dan berdukacita. Andai saja ayam kecil itu tidak mati, ia akan menjadi orang kaya. Anak ayam itu akan menjadi besar dan bertelor 12, lalu keduabelas ekor itu menetas dan masing-masing bertelor 12 lagi setiap 3 bulan, berarti dalam waktu setahun ke depan ayam milik Tawiu akan bertambah secara kumulatif menurut deret ukur menjadi 12 x 12 x 12 x 12 = 20.736 ekor. Kalau tiap ekor ayam dewasa dijual di pasar seharga Rp 45.000 berarti Tawiu bisa mendapatkan uang sebesar Rp 933.120.000. Itu perhitungan realita, bukan mengada-ada. Sembilanratus tigapuluhtiga juta seratus duapuluh ribu rupiah. Itu uang loh, bukan daun kayu.
Tapi apa mau dikata, Tawiu sadar bahwa ia tidak mungkin menuntut ganti rugi kepada si pemilik anjing yang kehidupannya juga serba pas-pasan. Bahkan lebih miskin dibandingkan dengan Tawiu. Dengan hati sedih Tawiu memungut anak ayam yang sudah mati itu, berpikir sebentar, apa yang harus dia lakukan terhadap bangkai anak ayam tersebut. Apakah dimasak? Tidak mungkin, karena ayam itu masih terlalu kecil. Apakah langsung dikubur? Atau buang saja ke sungai? Jiaaaaaahhh! Tiba-tiba saja di dalam benaknya timbul ide. Ayam kecil itu dibedahnya, isi perutnya dia ambil untuk dijadikan sebagai umpan memancing ikan di sungai.
Hari sudah sore. Tawiu sedang duduk di atas perahu kecil yang ditambat di pinggir sungai sejak beberapa jam yang lalu. Ia sedang menjalani ujian kesabaran, mencoba memancing ikan di sungai yang airnya sudah tercemar limbah mercury, dampak daripada usaha pertambangan emas secara liar yang dilakukan oleh penduduk, juga tercemar limbah pupuk kimia dan bahan pestisida dari perkebunan sawit milik para pengusaha dari ibukota yang menguasai sebagian besar lahan di sekitar desa mereka. Kehidupan dari hari ke hari terasa semakin sulit. Berladang dan berburu semakin tidak memberikan hasil karena lahan telah dibabat untuk areal perkebunan. Memancing juga sulit karena ikan di sungai semakin langka. Memungut hasil hutan berupa rotan dan karet? Harga barang hasil bumi tsebut terus merosot karena tergantung dengan harga pasaran di luar negeri. Mau jadi pegawai negeri sipil atau menjadi buruh perkebunan juga mustahil karena Tawiu dan sebagian banyak penduduk desa tidak memenuhi syarat, sebab mereka hanya menyandang gelar SDtt (Sekolah Dasar tidak tamat). Alhasil, ya itu tadi, kehidupan stagnan, jalan di tempat. Tidak maju, tidak juga mundur.
Selagi Tawiu merenung sejenak tentang kesulitan hidupnya, hari semakin senja. Sinar matahari semakin temaram. Dari semak-semak di atas pepohonan pinggir terdengan suara ranting patah dan kemerosok daun. Tawiu mengarahkan pandangannya ke arah puncak pohon, ternyata di situ ada seekor beruk jantan yang juga sedang menatap ke arah Tawiu. Beruk jantan itu langsung bertanya:
"Sedang apa kamu Tawiu?"
"Sedang memancing." jawab Tawiu seadanya.
"Sudah banyak dapat ikan?" tanya Beruk lagi.
"Satu ekorpun belum dapat."
"Pake umpan apa?" lagi-lagi Om Beruk bertanya.
"Umpan kanain manuk matei rokok seruk lusuk." (maksudnya: umpan usus ayam mati terpojok di sela-sela keranjang di lumbung padi).
Setelah mendapat jawaban, Om Beruk pergi begitu saja meninggalkan Tawiu tanpa permisi. Benar-benar beruk tidak mengenal tata-krama, kata Tawiu mengeluh dalam hati. Tapi rupanya datang lagi seekor beruk betina dan langsung bertanya kepada Tawiu:
"Hai Tawiu, sedang apa kamu di situ?"
"Sedang 'mancing." jawab Tawiu.
"Sudah berapa banyak dapat ikan?"
"Belum ada dapat apa-apa."
"Kamu pake umpan apa sih?" tanya si Tante Beruk dengan sedikit genit.
"Umpan kanain manuk matei rokok seruk lusuk."
"Occe, semoga sukses ya Tawiu, daaaaaag ... " kata si Tante Beruk lalu pergi.
.......... (Bersambung ke bagian 2.) ..........