Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulanpun menjadi
tahun. Margino kecil kini tumbuh menjadi pria dewasa. Meski dengan susah payah,
iapun berhasil juga menyelesaikan pendidikan di tingkat SMU. Sebenarnya ia
inginsekali melanjutkan pendidikan ke STPDN Jatinangor, supaya kelak dapat
menduduki posisi yg lebih baik sebagai pns. Namun karena ada berita miring
mengenai perlakuan kurang baik oleh para senior terhadap para mahasiswa baru di
sekolah tinggi tersebut maka Margino terpaksa mengurungkan niatnya, lalu memilih
untuk melamar jadi pns dengan modal ijazah SMU saja. Maka mulailah ia mencoba
menyebarkan surat lamaran kerja ke beberapa instansi pemerintah kabupaten di
kota kelahirannya, 'Bumi Jari Janang
Kalalawah' (artinya: menjadi jaya selamanya). Berminggu-minggu iapun berjalan
kaki menenteng stovmaf berisi berkas lamaran kerja itu dari satu kantor ke
kantor yang lain, tapi jawaban yang dia dapat ternyata sama dan sebangun: tidak
ada lowongan.
***
Hari itu panas sang surya serasa membakar ubun-ubun. Ini
adalah minggu ketujuh Margino menenteng stovmaf folio merah jambu, keluar masuk
kantor untuk urusan mencari kerja. Stovmaf itu sudah mulai lusuh kena keringat
Margino bercampur dengan debu panas jalanan yang menempel. Meski demikian belum
ada juga titik terang atau harapan bahwa ia akan mendapat pekerjaan. Margino
sudah sangat lelah dan lapar, tapi ia belum mau kembali ke rumah. Ia baru saja
keluar dari halaman kantor paling megah di Bumi Jari Janang Kalalawah. Sangat
ironis, pikir Margino dalam hati. Jangankan 'menjadi jaya selamanya', mau
melamar jadi pegawai honorer saja tidak kunjung diterima. Sungguh
terrrlaluuu... seperti kata bang Haji Rhoma Irama. Sambil melangkah keluar ia
merogoh saku celana. Ternyata masih ada sisa tiga lembar uang gambar Pangeran
Antasari, pahlawan nasional dari Kalimantan Selatan - bukan Antasari Azhar yang
masuk bui gara2 didakwa selingkuh dengan Rani Juliani, lalu membunuh direktur
utama PT. Putra Rajawali Banjaran.
Ekat enem
ribu rupiah. Uang sebanyak itu mana cukup buat membeli satu porsi makan siang,
pikir Margino dalam hati. Iapun setengah berlari menyeberang jalan. Disitu,
dibawah pepohonan rindang dekat trotoar terdapat paman gerobak dorong jualan es
kelapa muda. Ia memesan satu gelas dan menghirupnya dalam-dalam. Ahhh...
segarrr, katanya dalam hati. Apalagi ditambah dengan semilir angin yang bertiup
perlahan dari sela dahan pohon beringin yang rindang, membuat matanya ingin
terpejam.
(bersambung ...)