Aku meraih ponsel di atas meja lalu mencoba mengubungi
Mala.
- Selamat pagi
Wish. – ia tidak pernah mengucapkan kata ’halo’ setiap menerima telpon dari
siapa saja.
- Selamat pagi juga La. Kamu jadi berangkat ke
Tamiang Layang hari ini? – tanyaku.
- Jadi say. Ini sedang siap-siap mau pergi ke
terminal. Bus-nya berangkat jam delapan
pagi. –
- Berarti tiba di Tamiang sekitar jam dua
siang. – kataku.
- Ya, sekitar jam dua siang. Kamu jemput aku
di depan pasar Tamiang Layang ya? –
- Ya La. Hati-hati di jalan. –
- Terima kasih Wish, kamu mau aku belikan apa? –
- Tidak La, terima kasih. Aku hanya mau kamu
cepat datang saja. – kataku bergurau, ia tertawa geli.
- OK Wish, sampai jumpa nanti siang. –
- Ya, sampai nanti. –
Bus yang membawa Mala tiba di Pasar
Tamiang jam 13.45 WIB, lebih cepat limabelas menit dari yang kami perkirakan sebelumnya.
Aku menaikkan barang-barang bawaannya ke mobil, lalu kami meneruskan perjalanan
menuju Pondok Nila. Meski aku sudah membuat papan nama dan memasangnya di depan
rumah, sebagian penduduk desa lebih suka menyebut tempat kami dengan nama
Pondok Mala. Aku pikir, nothing to loose.
Biarkan saja. Disini orang-orang memang lebih mengenal Mala ketimbang mengenal
aku. Mungkin karena ia orang Ma’anyan, sedang aku adalah mahluk asing entah
dari planet mana.
Sepanjang perjalanan aku menggenggam
tangannya sambil menyetir, hal yang sudah biasa aku lakukan apabila kami naik
mobil berduaan.
- Bagaimana kabar
Keysha. – tanyaku tak sabar ingin segera mendengar cerita tentang cucu kami.
Sejak ia lahir sampai sekarang aku belum sempat pergi ke Banjarmasin, jadi
Keysha belum kenal dengan Opa-nya.
- Wahhh, Keysha lucu sekali Wish. Ibu-ibu
tetangga kita semua mengatakan mukanya bulat seperti aku, tapi bibirnya mirip bibir
kamu –
- Ya iyalah, - jawabku. – Namanya juga Keisya
itu cucu kita, mana mungkin mukanya mirip tetangga. – Kami berdua tertawa
ngakak.
Setiba di depan Pondok, Mala keluar
dari mobil lalu berdiri menengadah ke langit sambil membentangkan kedua belah
tangannya lebar-lebar. Rambutnya tergerai ditiup angin. Ia menarik napas panjang,
menghirup udara segar dengan sepuas-puasnya.
- Wahhh... rasanya lega sekali. – katanya. –
Hanya beberapa hari tinggal di Banjarmasin dadaku terasa sesak, beda sekali
dengan udara di tempat ini. -
Aku sangat terharu dan langsung berdiri keluar dari dalam
mobil lalu memeluknya dari belakang. Dalam hati aku berdoa: ”Ya Tuhan, aku
mohon dengan segala kerendahan hati berikanlah aku dan isteriku kesehatan dan umur
panjang, limabelas atau duapuluh tahun lagi dari sekarang. Berilah aku
kesempatan dan kemampuan untuk menunjukkan cinta kasih yang tulus kepada Mala
sampai kami memasuki usia senja, sampai engkau memanggil kami kembali ke
hadapan hadiratmu. ”
Apa yang aku ucapkan dalam doaku
seolah bergema sampai ke dalam ruang batin Mala. Ia seperti mampu membaca isi pikiranku,
lalu ia menarik lenganku dan melingkarkannya lebih erat pada tubuhnya. Sound
system dari dalam mobil terdengar sampai keluar karena kedua pintunya terbuka. Salah satu lagu lama kesukaan kami mengalun dari sana. Begitu manis, begitu lembut.
Itulah suara penyanyi Dan Hill dalam singlenya Sometimes when we touch
You ask me if I love you
And I choke on my reply
I'd rather hurt you honestly
Than mislead you with a lie
And who am I to judge you
On what you say or do?
I'm only just beginning to see the real you
And sometimes when we touch
The honesty's too much
And I have to close my eyes and hide
I wanna hold you til I die
Til we both break down and cry
I wanna hold you till the fear in me subsides.