Pagi ini matahari bersinar cerah. Tampaknya musim kemarau sudah hampir tiba, tapi semoga saja bukan kemarau panjang seperti tahun lalu, semua kolam kering kerontang. Kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa ikan di kolamku duluan mati sebelum terjual.
Begitu bangun aku langsung sibuk membersihkan rumah dan menyiapkan
sarapan pagi. Kepergian Mala selama beberapa hari ke Banjarmasin bagiku merupakan
pengalaman rohani sekaligus pelajaran hidup yang luar biasa. Pelajaran hidup
yang pertama, ternyata aku bisa memasak dan mencuci pakaian sendiri. Sejak aku
berhenti kuliah dan mulai bekerja sebagai karyawan bank, aku tidak pernah lagi
mengerjakan dua macam tugas suci tersebut.
Aku menyebut memasak dan mencuci pakaian sebagai tugas
suci bukan karena sekedar ingin bercanda. Memasak itu punya makna spiritual yang
sangat tinggi. Coba saja tanyakan, apa yang paling menyenangkan bagi seorang
wanita yang sudah bersuami? Kamu pasti mengira jawabannya adalah sex. Bukan, jawaban
yang benar adalah memasak, membuat makanan. Menyaksikan suaminya makan adalah
puncak kesenangan seorang wanita. Mengapa? Penjelasan mengenai akar penyebabnya
bisa sangat panjang, tetapi esensinya bahwa hal itu sangat berhubungan erat
dengan naluri manusia untuk tetap survive, untuk menjaga eksistensi mereka di
muka bumi supaya terhindar dari kepunahan. Beribu-ribu tahun yang lalu manusia
hidup berkelompok dalam suku-suku. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain demi untuk mendapatkan makanan. Kaum lelaki boleh kawin dan
menggauli wanita sebanyak berapa yang mereka inginkan, dan menghasilkan banyak
keturunan. Lalu timbullah teori Malthus: jumlah bahan makanan yang tersedia di
dunia dari waktu ke waktu bertambah menurut deret hitung, tetapi jumlah manusia
bertambah menurut deret ukur. Angka pertumbuhan yang tidak seimbang itu
mengakibatkan krisis pangan. Terjadilah saling bunuh karena berebut makanan,
mula-mula perang antar suku tetapi lama-lama antar sesama anggota suku itu
sendiri. Yang paling duluan terbunuh adalah anak-anak dan orang lanjut usia,
setelah itu para wanita karena mereka lebih lemah. Yang tersisa hanyalah kaum
laki-laki, atau sejumlah kecil wanita yang berotot baja. Tapi laki-laki tanpa
wanita tidak bisa punya keturunan. Mereka terancam punah. Maka dibuatlah aturan-aturan
untuk menjaga keseimbangan alam semesta, satu lelaki hanya boleh menikah dengan
satu wanita. Itulah pula sebabnya pada masa pemerintahan orde baru dibuat
peraturan keluarga berencana: dua orang anak sudah cukup, lelaki atau perempuan
sama saja. Jika aturan ini berhasil diterapkan secara nyata berarti pertumbuhan
jumlah penduduk di negara kita adalah zero growth, tidak bertambah dan tidak
berkurang.
Adapun halnya mengenai kegiatan mencuci pakaian tidak
bisa kita anggap sepele, karena dibalik kegiatan tersebut terkandung nilai
filosofi kehidupan yang sangat mendasar.
Ada sebuah kalimat bijak dalam bahasa Jawa: Ajining diri soko lati, ajining rogo soko busono. Harga diri
seseorang itu adalah dari apa yang dia ucapkan, harga badan itu dari pakaian. Dalam
pengertian yang lebih luas kalimat itu mengandung makna bahwa setiap orang
dalam pergaulan hidup sehari-hari haruslah mampu menjaga kehormatan dirinya,
baik secara badaniah dalam wujud cara berpakaian yang pantas, bersih dan rapi,
maupun juga penampilan secara batiniah dalam bentuk pengendalian diri, sehingga
mulut kita hanya mengeluarkan kata-kata yang baik. Mencuci pakaian adalah
pekerjaan yang memerlukan disiplin tinggi. Semakin lama kita tunda, semakin
berat pekerjaan yang harus kita selesaikan pada keesokan harinya, karena jumlah
cucian besok pasti akan menjadi lebih banyak daripada jika kita mencuci pada
hari ini. Semakin berat pekerjaan yang kita hadapi, semakin malas pula kita memulai
mengerjakannya.
Pelajaran hidup yang kedua sehubungan dengan kepergian
Mala adalah bahwa aku jadi lebih mengerti betapa berharganya ia bagi hidupku,
bahkan juga bagi kedua orang anakku Riko dan Aline. Bagaimana tidak? Selama
puluhan tahun sebelum ini aku tidak pernah menyadari betapa berat tugas isteriku
mengurus rumah tangga kami. Setiap hari ia bangun lebih duluan dan tidur paling
belakangan, karena harus menyiapkan sarapan pagi, menyiapkan anak-anakku pergi
ke sekolah dan menyiapkan keperluan suaminya pergi ke tempat kerja. Setelah aku
dan anak-anak pergi, ia harus membersihkan rumah, mencuci pakaian, pergi ke
pasar, memasak dan menyiapkan makan siang, menyeterika, melipat pakaian dan
setumpuk pekerjaan tetek-bengek lainnya yang tak ada habis-habisnya. Menjelang petang ia sibuk lagi menyiapkan
makan malam, membersihkan peralatan dapur bekas masak, menidurkan anak-anak ...
dan bahkan juga menidurkan suaminya, setelah itu barulah ia sendiri bisa
istirahat. Memang betul selama ini aku juga sangat sibuk dengan pekerjaan di
Kantor, tetapi aku masih punya kesempatan untuk istirahat pada hari Sabtu, Minggu
dan hari-hari libur lainnya. Sedangkan isteriku tidak, hari Minggu atau hari
libur ia tetap sibuk seperti hari-hari biasa. Kami memang pernah mencoba menggaji
pembantu rumah tangga. Sewaktu di Tanjungredeb pernah ada seorang pembantu dari
Madura. Namanya Widji, umurnya masih belasan tahun. Waktu baru mulai bekerja ia
memang rajin, hasil pekerjaannya rapi dan bersih. Tapi baru sekitar 8 bulan
sudah mulai tidak karuan karena ia mabok pacaran dengan Syamsu, seorang pemuda penebang
kayu dari Sulawesi yang tinggal di rumah sebelah. Ujung-ujungnya ia minta
berhenti dengan alasan ingin menikah. Pembantu kami yang kedua orang Manado.
Seumur-umur aku baru tahu bahwa ada juga orang Manado yang sudi menjadi
pembantu rumah tangga. Namanya keren, Florcee Arietta Massie. Ia seorang janda
muda tanpa anak. Dua tahun yang lalu ia datang dari Kawanua bersama suaminya Jimmy
Mamahit, buruh perusahaan batu-bara yang beroperasi di Tanjungredeb. Tetapi Jimmy
kemudian jatuh cinta pada Sunarti, tukang masak perusahaan di tempatnya
bekerja, dan Florcee ditinggalkan begitu saja. Dasar Jimmy tukang ’mamahit’ di
sembarang tempat, kataku dalam hati. Mamahit itu dalam bahasa Dayak Ngaju sama
artinya dengan (maaf) pipis. Kalau nggak tahu arti pipis, sekali lagi mohon
maaf, kencing. Sejak mulai bekerja di rumah kami Florcee memang sudah
memberitahu bahwa ia ingin menjadi pembantu hanya selama tiga bulan, sekedar
mencari uang secukupnya untuk beli tiket kapal laut dan biaya pulang ke Manado.
Kami setuju. Tiga bulan kemudian ia mengundurkan diri secara baik-baik. Setelah
Florcee, ada sekitar lima atau enam orang anak suku Dayak Benuaq dari pedalaman
yang datang memohon untuk numpang tinggal di rumah kami. Mereka bersedia
membantu pekerjaan mengurus rumah tangga dengan imbalan bahwa kami bersedia membayar
biaya sekolahnya. Tetapi mereka tidak pernah lama, satu-persatu datang dan
pergi. Setelah itu tugas mengurus rumah tangga dikerjakan sendiri seratus
persen oleh isteriku. Anehnya, ia tak pernah mengeluh karena bosan atau lelah.
Ia tetap melaksanakan pekerjaannya dengan gembira dan penuh semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar