Sejak lama aku dan isteriku sepakat bahwa jika sudah
pensiun kami akan kembali ke alam desa.
Kami sudah lelah menjalani kehidupan di kota besar,
berdesak-desakan dengan para tetangga yang serakah. Bahkan membuka jendela saja
sudah tidak bisa - karena setiap orang membangun rumahnya secara berhimpitan.
Di desa, kami akan membangun rumah mungil dari kayu,
dengan jendela besar tanpa teralis yang terbuka lebar, dikelilingi taman bunga yang
luas sehingga kami dapat menghirup udara segar seberapa banyak yang kami inginkan.
Di depan dan samping kiri rumah akan kami buat kolam ikan yang luas. Bagian sebelah
kanan digunakan untuk menanam sayuran, sedang di bagian belakang akan ditanami pohon
buah-buahan rambutan, langsat, durian, cempedak, mangga, jeruk dan salak. Di
sela-sela pepohonan itu akan digunakan sebagai area peternakan unggas.
Demikianlah, sejak awal tahun lalu aku bersama Mala mulai
mencurahkan pikiran, tenaga dan juga uang untuk mengubah tempat ini menjadi
tempat yang sesuai dengan impian kami. Memang tidak semudah yang kami bayangkan. Kendala utama ialah karena tingkat
kesuburan tanah di sini sangat rendah sehingga kurang memadai untuk digunakan
sebagai lahan bercocok-tanam.
Dahulunya lahan ini merupakan bekas kebun karet milik
penduduk, kemudian dijadikan ladang tempat menanam padi, sehingga zat hara pada
tanah sudah hampir habis. Sebagian besar permukaan tanah mengandung gambut
dengan tingkat keasaman yang tinggi, juga terlalu mudah longsor untuk digunakan
sebagai lokasi kolam ikan. Meskipun demikian kami tetap memilih tempat ini
karena ternyata juga punya kelebihan, yaitu terletak di daerah lintasan mata
air, menurut keterangan penduduk setempat tidak pernah kekeringan kecuali pada
musim kemarau panjang, namun juga tidak pernah dilanda banjir meski pada musim
penghujan. Posisinya yang terletak di kaki lembah yang diapit oleh dua bukit di
sebelah kiri dan kanan membuat air mudah dikelola supaya mengalir dengan deras.
Hal itu sangat baik untuk mempercepat pertumbuhan ikan, sekaligus merupakan
nilai tambah dari segi estetika.
Alasan lain bagi kami memilih tempat ini adalah karena
suasananya yang sunyi dan tenang, terletak sekitar 6 kilometer dari pusat kota.
Hanya sesekali ada mobil atau sepeda motor melintas lewat. Sebagian banyak dari
mereka yang lewat adalah para petani penyadap karet atau anak sekolah yang
sengaja memilih jalan ini supaya tidak terjaring razia, karena tidak punya
surat ijin mengemudi atau tidak pernah membayar pajak tahunan kendaraan
bermotor. Ada juga beberapa mobil bak terbuka milik para pengusaha spanyol
(separo nyolong), yaitu pengusaha yang menjadi cukong penebangan kayu secara
liar. Meski pemerintah sudah melarang, mereka terus saja merambah hutan,
menebang pohon sesuka hatinya, dibelah di tempat dengan chainsaw untuk
dijadikan bahan bangunan, kemudian diangkut ke kota dengan cara
terang-terangan. Para aparat yang berwenang mengawasi hal itu seolah menutup
mata, berlagak seolah-olah tidak tahu, bahkan sangat mungkin ada permainan
pat-gulipat di antara sang cukong dan aparat.
Sekitar tiga ratus meter dari tempat ini ke arah Timur
ada perkampungan penduduk dengan jumlah rumah
lebih kurang tigapuluh buah. Sedangkan ke arah Barat ada sekitar tujuh
atau delapan buah rumah dengan jarak antara rumah satu ke rumah yang lain
sekitar lima puluh sampai seratus meter. Secara administratif daerah ini
tercakup dalam kawasan rencana perluasan kota Tamiang Layang dan disebut jalan
lingkar luar, sengaja dibangun sebagai jalan alternatif untuk menghindar dari
kemacetan lalu lintas di pasar Temanggung Djayakarti Tamiang Layang.
Masalah paling berat bagi aku dan Mala ketika baru pindah
ke sini adalah faktor usia dan human behavior. Sebesar apapun semangat kami, tetap
harus diakui bahwa aku dan Mala sudah berusia lanjut, sehingga kami bukanlah
merupakan pekerja yang handal untuk menaklukkan alam. Aku memang merupakan putra asli suku Dayak Ngaju yang
lahir di pedalaman Katingan, namun sejak usia sekolah menengah aku pergi
meninggalkan kampung halaman dan merantau ke kota besar. Aku tidak punya
pengalaman yang memadai untuk beralih profesi menjadi petani. Setelah
menyelesaikan ’sebagian’ pendidikan program S1 di Fakultas Ekonomi Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin, aku diterima bekerja pada sebuah bank umum milik
negara dan ditempatkan pada salah satu cabangnya di kota Tanjungredeb, Kalimantan
Timur. Selama lebih dari 31 tahun aku menjalani rutinitas kehidupan yang itu-itu
saja. Setiap hari bekerja dari jam 07.00 pagi sampai jam 20.00 malam, menempati
ruangan kantor yang bersih dan sangat nyaman dengan udara sejuk yang diatur
oleh mesin pada suhu 23 derajat Celcius. Kulitku hampir tidak pernah disengat oleh
terik matahari.
Adapun Mala, meski orang tuanya berasal dari suku Dayak
Maanyan[i],
namun ia lahir dan dibesarkan di Balikpapan, satu-satunya kota paling besar dan
bertaraf internasional di pulau Kalimantan. Bagi kami, hidup di tengah alam
pedesaan merupakan sebuah pengalaman baru. Meskipun demikian, semua kendala dan
hambatan tidaklah membuat kami tawar hati. Malah kami anggap sebagai tantangan.
Kami harus mampu memanfaatkan kondisi dan kemampuan yang ada sehingga dapat memberikan
hasil sesuai dengan harapan.
[i] Penduduk asli propinsi Kalteng terdiri dari 2 kelompok besar,
yaitu
1. suku Dayak Ngaju, tinggal di daerah aliran sungai
Seruyan, Mentaya, Katingan, Kahayan dan Kapuas;
2. suku Dayak Maanyan, tinggal di daerah aliran sungai Barito.