Senin, 12 Juli tahun duaribu sekian.
Beberapa hari terakhir ini kesehatanku kurang baik. Sejak kepergian isteriku ke Banjarmasin pekan lalu aku merasa nyeri pada otot punggung sebelah kiri. Semula aku tidak peduli dengan rasa sakit itu dan mencoba untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Begitu bangun pagi aku langsung menyiapkan sarapan. Semuanya harus dikerjakan sendiri karena memang tidak ada orang lain di rumah ini. Ada untungnya juga bahwa aku sudah terbiasa tidak sarapan makan nasi. Cukup secangkir kopi dengan sepotong kue, dan pagi ini lebih istimewa karena ada roti sumbu, ubi rebus dioles margarine. Aku membawa sarapan ke teras depan dan menikmatinya sambil duduk menghadap ke kolam taman. Pagi ini air kolam tampak lebih bening dari biasanya. Di pojok kolam sebelah utara terdapat air terjun mini yang aku buat sendiri dari tumpukan batu kali. Dari situ terdengar gemercik suara air seolah menggelitik telinga. Tepat di bawah air terjun itu beberapa ekor ikan mas berenang meliuk-liuk dengan gerakan perlahan. Ada yang berwarna hitam, abu-abu, dan ada juga yang berwarna kuning cerah. Dahulu ikan mas itu dibeli oleh Mala – isteriku – di pasar ikan Tamiang Layang. Ketika dibeli ikannya masih kecil-kecil, satu ekor beratnya rata-rata sekitar 200 gram. Tanpa terasa setelah kami pelihara lebih kurang 6 bulan sekarang ikan mas itu tumbuh menjadi bongsor. Kini setiap satu ekor beratnya mungkin sudah mencapai berat dua kilogram atau lebih. Mengetahui keberdaanku di teras depan, beberapa ekor ikan mas itu berlomba mendekat, seolah mengerti bahwa sekarang adalah waktu untuk bersama menikmati sarapan pagi. Akupun menebar beberapa genggam pelet ke dalam kolam. Puluhan ekor ikan mas itu menggelepar saling mandahului menyambar makanan dengan penuh semangat.
Sepasang burung kecil terbang rendah melintasi taman, lalu hinggap di ranting pohon akasia di depan rumah. Entah burung apa namanya. Paruhnya hitam, bulunya warna hijau tapi di dadanya ada warna merah. Mereka melompat dari satu ranting ke ranting yang lain sambil terus-menerus mengeluarkan bunyi mirip sempritan anak sekolah sedang latihan lomba gerak jalan menjelang peringatan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa. ”Prit ... prit ... prit ... prit.” Sementara itu dari pepohonan hutan yang lebih tinggi terdengar suara kicau berbagai jenis burung lain yang saling bersahutsahutan. Mereka seolah sedang memainkan orkes simphony. Aku duduk di kursi sambil memejamkan mata dengan perlahan. Serasa ada sesuatu yang mengalir dari ubun-ubun, turun melalui leher, bahu, punggung, lalu memenuhi rongga dada. Sesuatu yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ya Gusti Allah, kicau burung, gemercik suara air terjun, semerbak bau bunga dan aroma wangi rerumputan basah yang diterpa sinar hangat matahari pagi, semuanya merupakan berkat dari Tuhan semesta alam yang menghadirkan rasa nikmat luar biasa. Aku merasa jarum waktu seolah sedang berhenti. Aku lupa bahwa aku sedang berada jauh di tempat asing seorang diri, duaratus limapuluh kilometer dari Banjarmasin – tempat dimana isteri dan anak-anakku berada.
Bersambung .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar