Dalam perjalanan hidup, saya tidak banyak bepergian. Tapi dari sedikit pengalaman melakukan perjalanan saya sering menemukan kejadian yang bersifat sama atau berulang. Di bandar udara, di terminal bus, di pelabuhan kapal laut, di stasiun kereta dan ketika jalan-jalan di mall orang sering keliru karena mengira saya orang cina.
Dulunya saya memang bangga sering dikira cina, karena semua orang sudah tahu bahwa sebagian besar saudara kita warga keturunan cina di negeri ini menikmati taraf kehidupan ekonomi yang lebih baik atau paling tidak diatas garis rata-rata. Tapi setelah terjadi kerusuhan besar di Jakarta penghujung masa kekuasaan Orde Baru antara tahun 1997-1998, ketika orang cina dikejar-kejar, dirampok, disiksa dan dibunuh, saya merasa jadi ngeri juga menyandang predikat sebagai cina gadungan. Kalau jadi cina beneran apa boleh buat, namanya sudah memang risiko.
Lalu saya bertanya pada diri sendiri, mengapa orang sering mengira saya orang cina, padahal raut wajah saya dayak tulen. Sure. Tiba-tiba saya teringat sepotong cerita lama yang pernah saya dengar sekitar tigapuluh tahun yang lalu. Saking lamanya, sebagian besar dari ceritera tersebut tidak mampu saya ingat lagi. Konon katanya orang dayak dan orang cina itu adalah dua orang saudara kandung. Suatu hari mereka menemukan sebongkah emas kurang lebih sebesar buah kelapa (berapa kilo ya?) di puncak gunung Kinabalu. Ketika akan dijual, tidak ada yang sanggup membeli emas dengan jumlah dan ukuran sebesar itu, padahal mereka ingin menjualnya sekaligus, tidak mau dijual sedikit-sedikit. Pikir punya pikir, akhirnya mereka terpaksa pergi ke negeri Tiongkok untuk menjual hasil temuan mereka tadi.
Ketika itu belum ada kapal laut, apalagi pesawat udara. Mereka naik rakit bambu yang diberi layar. Di tengah lautan tiba-tiba muncul seekor naga ingin merebut bola emas dari mereka. Enak aja tuh si naga, emang lu kira gratis? Kedua saudara tadi bertempur mati-matian melawan naga, tapi lama-kelamaan mereka kewalahan juga. Sambil bertempur mereka mengubah strategi. Si abang berusaha mengalihkan perhatian sang naga, sedang adiknya mengumpulkan kuali, piring, sendok dan gelas yang ada di atas rakit dan terbuat dari kuningan, untuk ditanak menjadi bola emas palsu. Setelah bola emas palsu selesai dibuat lalu mereka lembarkan ke mulut si naga. Setelah merasa berhasil merebut bola emas (palsu) tadi sang naga langsung pergi. Kutipu kau, kata kedua saudara tadi sambil tersenyum lega dan meneruskan perjalanan ke negeri Tiongkok.
Setiba di sana, mereka berhasil menjual bola emas dengan harga yang pantas, tapi kemudian timbul masalah dalam pembagian hasil penjualan. Masing-masing pihak merasa lebih berjasa ketika mempertahankan emas dari serangan naga, sehingga saling menuntut bagian lebih besar dari yang lain.
Sampai disini saya lupa kelanjutan ceriteranya. Karena itu jika ada diantara pembaca yang kebetulan mengetahui ceritera ini secara lengkap, sudilah kiranya memberikan koreksi, tanggapan atau tambahan kelanjutan kisah tersebut. Paling tidak dari ceritera tersebut saya ingin memastikan bahwa sebenarnya orang dayak itu tidak mirip dengan orang cina, tapi orang cina-lah yang (sebagian) mirip dengan orang dayak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar