Aku masih ingat hari-hari pertama kami memulai kegiatan
di tempat ini. Berawal dari kegiatan mapping, mengukur dan menetapkan batas tanah
yang kami beli dari pemilik sebelumnya; membuat denah pembagian fungsi pemanfaatan
lahan untuk menentukan dimana sebaiknya mendirikan rumah tempat tinggal, dimana
posisi taman, dimana posisi kolam ikan, dimana menanam pohon buah-buahan dan
sebagainya; kemudian merintis dan membabat hutan. Semuanya harus dirancang dan
dikerjakan sendiri oleh kami. Pekerjaan tersebut saja memerlukan waktu berminggu-minggu.
Tiap hari kami pergi pagi dan pulang petang dari rumah mertuaku di pusat kota. Sementara
aku menebas semak-semak belukar dan membersihkan lokasi, aku juga membayar sepuluh
orang pekerja upahan untuk membangun rumah tempat tinggal, membuat sumur,
menggali tanah untuk kolam ikan dan membuat pagar keliling untuk menghindari
serangan babi piaraan penduduk yang masih banyak dibiarkan berkeliaran.
Karena jarak yang lumayan jauh dari kota, sesekali kami
membawa makanan masak dari rumah mertuaku, tapi adakalanya Mala memasak untuk
makan siang kami di lokasi kegiatan. Ia memasak dengan susah payah di tempat
terbuka di atas tanah, menggunakan kayu bakar dari ranting-ranting kering yang
dia kumpulkan sendiri langsung dari lokasi setempat. Aku merasa kasihan dan terharu
melihat isteriku. Ia sama-sekali tak
pernah mengeluh dengan keadaan atau cara hidup yang kami jalani, walau aku tahu
bahwa itu bukan hal yang mudah baginya. Pada hari-hari biasa ia memasak di
rumah menggunakan kompor gas atau rice cooker listrik. Suatu hari selagi asyik
memasak di tempat ini Mala baru sadar bahwa ia lupa membawa sendok nasi dari
rumah. Dalam keadaan terburu-buru karena nasi sedang mendidih diatas tungku dan
harus segera diaduk supaya tidak hangus, ia mengambil satu potongan kecil papan
sisa bahan bangunan rumah kami. Potongan papan itu ia bentuk sedemikian rupa
menjadi sendok nasi. Aku berusaha keras menyembunyikan rasa haru menyaksikan
apa yang ia lakukan. Jangan sampai dia tahu bahwa aku tak mampu menahan air
mata. Aku mengalihkan perhatian dengan cara memuji dan mencium pipinya, tapi
sendok nasi dari kayu yang ia buat itu diam-diam aku simpan sampai saat ini.
Mala adalah seorang perempuan luar biasa. Bagiku dia
bukan hanya seorang isteri, tetapi juga merupakan sahabat, teman bercanda, teman
diskusi dan tidak jarang saling adu argumentasi, bahkan juga sering menjadi
sasaran tumpahan omelan bila aku sedang kesal pada sesuatu, misalnya ketika
kami berdua naik mobil melewati lalu lintas yang sedang macet. Ia selalu
berhasil membuat aku lebih sabar menghadapi segala sesuatu yang tidak
menyenangkan dalam kehidupan, juga membuat hidupku lebih punya makna. Ia adalah belahan jiwaku. Aku tidak dapat
membayangkan bagaimana jadinya diriku andaikata ia tak ada. Hampir semua
keputusan-keputusan besar yang aku buat sebagai kepala rumah tangga selalu ia
dukung dengan sepenuh hati. Ia hampir tidak pernah mengatakan tidak setuju,
meski kadang-kadang hasil akhir dari keputusan itu ternyata keliru. Apa saja
yang aku sukai, ia juga menyukainya. Jenis musik dan lagu-lagu favoritku adalah
juga jenis musik dan lagu favoritnya. Demikian juga halnya dalam memilih warna
dan model baju. Kami sama-sama menyukai warna hitam dengan model sederhana dan
kasual. Busana warna hitam itu membuat pemakainya tampak powerful, berwibawa, berkesan
elegant, sophisticated, penuh rahasia dan bersifat abadi; meskipun ada juga
orang yang mengatakan bahwa hitam bukanlah warna melainkan lambang kegelapan
atau ketiadaan, sekaligus merupakan simbol dukacita dan kemurungan.
Aku mengenal Mala ketika ia berusia sangat muda. Ketika
itu ia masih kelas 3 sekolah menengah pertama dan aku sudah 1 tahun bekerja
sebagai crediet officer pada sebuah bank di kota Tanjung Redeb. Usia kami beda lebih
10 tahun, tapi entah apa yang membuat kami saling menyukai. Ia seorang gadis tomboy,
lebih suka memakai baju kaos oblong dan celana Blue Jean’s ketimbang mengenakan
gaun atau pakaian resmi wanita. Sifat tomboy itu mungkin tumbuh karena ia
sangat mengagumi dan menganggap figur ayahnya sebagai sosok keteladanan.
Ayahnya, Bapak Samuel seorang anggota pasukan Raider, batalyon pasukan elit
infanteri Tentara Nasional Indonesia. Sebagai salah seorang anggota pasukan raider beliau telah memperoleh
pendidikan dan latihan khusus untuk perang modern, anti gerilya dan perang dalam
waktu lama atau perang berlarut. Mereka dilatih untuk memiliki kemampuan tempur
tiga kali lipat lebih handal dibandingkan dengan batalyon infanteri biasa. Keahlian
utama mereka adalah melakukan penyergapan dan pertempuran jarak dekat, merupakan
pasukan lawan gerilya dengan mobilitas tinggi, antara lain terjun parasut dari
pesawat udara ataupun terjun dengan bantuan tali dari pesawat helikopter. Pak Samuel bahkan pernah beberapa kali dikirim
ke medan konflik ketika terjadi perang di Irian Barat dan Kalimantan Utara
sekitar tahun 1961 - 1965. Itulah pula alasan bahwa puteri pertamanya diberi
nama Mala. Ia lahir ketika ayahnya sedang dalam tugas perang melawan Malaysia
di Kalimantan Utara.
Dalam agama Hindu orang mengenal ’mala’ sebagai perlengkapan sembahyang yang terbuat dari rangkaian
buah ganitri. Fungsinya kurang lebih sama dengan tasbih bagi saudara kita yang
muslim atau rosario bagi umat Nasrani, yaitu sebagai alat hitung dalam berdoa,
sekaligus merupakan lambang kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar